Usia Minimal Menikah Menurut BKKBN untuk Mencegah Stunting

Surabaya – Upaya untuk mencegah stunting di wilayah Jawa Timur, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional Jawa Timur (BKKBN Jatim) terus melakukan upaya sosialisasi di berbagai kalangan masyarakat.

Dalam sebuah seminar di Jalan Kalasan, Surabaya, pada Selasa, (19/12/2023), Kepala Perwakilan BKKBN Jatim, Dra Maria Ernawati mengatakan, stunting terjadi akibat berbagai faktor. Seperti kemiskinan, budaya, dan pola asuh.

“Ini juga faktor sanitasi, ini juga berpengaruh menjadikan stunting,” kata Maria usai seminar.

Menanggapi pertanyaan tentang salah satu upaya pencegahan stunting dengan tidak melakukan nikah dini, menurut Maria, konteks usia menikah muda menurut BKKBN itu seharusnya 21 tahun ke atas.

sedangkan menurut undang-undang usia minimal untuk bisa menikah menurut peraturan dan undang-undang adalah 19 tahun. Di usia ini, yakni di bawah 21 tahun kaum wanita memiliki pinggul yang belum cukup untuk melahirkan.

“Nah kalau BKKBN itu menganjurkannya adalah di bawah 21 tahun. Kenapa harus 21 tahun? Itu yang pertama karena kesehatan dari reproduksi, wanita yang umurnya di bawah 21 tahun ini perkembangan pinggul. Pinggul itu kalau mau melahirkan maksimalnya 10 Cm,” jelasnya.

“Kalau melahirkan muda, kawin muda terus melahirkan muda begitu ya. Panggulnya ini belum berkembang optimal, belum 10 Cm. Sehingga kalau dipaksakan ada kelahiran pasti terjadi pendarahan, tidak menutup kemungkinan akan terjadi kematian, bagi si ibu dan si anak,” terang Maria.

Sementara, upaya pencegahan stunting yang dilakukan BKKBN Jatim, kata Maria, juga dilkukan dengan menggandeng kalangan ulama’. Sosialisasi pun juga telah memasuki pesantren-pesantren, terutama di kalangan santriwati.

“Jadi kami ini sudah menggandeng beberapa ulama’, dan tentu saja sosialisasi-sosialisasi BKKBN ini juga sudah mulai ke pondok-pondok pesantren untuk memahamkan terutama ke santriwati-santriwatinya biar paham,” ungkapnya.

Baca Juga :  Pilkades Desa Mekarjaya Kecamatan Ciomas Kondusif

Hal ini dilakukan agar para santriwati tersebut nantinya, bisa melakukan perencanaan dalam rumah tangga dan keluarganya. Para santriwati bisa memenuhi fungsi-fungsinya, baik fungsi secara agama maupun fungsi di dalam keluarga.

“Biar nantinya dia punya satu perencanaan dalam kehidupan keluarganya. Siap memenuhi fungsi-fungsi keluarga, baik itu fungsi agamanya karena lulusan pondok, fungsi reproduksinya, fungsi kesehatan, pendidikan, ekonomi terpenuhi semua,” tandas Maria.

Untuk angka stunting di Jawa Timur yang tertinggi itu ada di Jember, Bondowoso dan Situbondo. Sedangkan untuk angka stunting terendah ada di Surabaya yang hanya berbeda satu digit, yakni 4,8 persen.

Maria optimis angka stunting akan terus turun di Jawa Timur dengan melihat kerasnya upaya pemerintah daerah, perguruan tinggi dan media massa. Maria menargetkan, angka stunting di tahun 2024 turun hingga 14 persen.

“Bu Gubernur menargetkan di bawah 14 persen, di tahun ini harusnya 16 persen. Sementara tahun kemarin kita masih di 19,2 persen,” pungkasnya. (Herman)

Related posts