“Penelusuran mengenai penyebab kematian dan motif tindak pembunuhan dan bunuh diri masih akan terus dilakukan oleh pihak yang berwajib hingga mendapatkan jawaban. Saat ini anak korban AKE masih dalam kondisi sangat terpukul karena ia tidak menyangka bahwa ayahnya lah yang melakukan hal tersebut. Anak korban AKE merasakan sedih yang mendalam karena ia ditinggalkan oleh semua keluarga intinya. Meskipun terpukul, anak korban AKE berusaha menguatkan dirinya dan mampu menanggapi para pelayat yang hadir,” ungkap Nahar.
Dalam hal penanganan dan perlindungan terhadap anak korban, Nahar mengungkapkan, pihaknya bersama dengan Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Kabupaten Malang dan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kabupaten Malang telah melakukan penjangkauan dan pendampingan terhadap anak korban AKE. Selama proses pendampingan berjalan, anak korban AKE terlihat kooperatif dan mampu menjawab berbagai pertanyaan dengan baik meskipun sesekali menangis saat menjawab pertanyaan yang membuatnya sedih. Selain mendampingi anak korban AKE, pendampingan terhadap keluarga terdekat pun telah dilakukan dengan memberikan penguatan dan dukungan awal yang nantinya akan dilakukan asesmen lebih mendalam guna mengetahui kondisi psikologis anak korban AKE dan keluarga korban untuk mengetahui dampak dari kejadian tersebut.
“Kami juga akan memasikan pemenuhan hak dari anak korban AKE di sela proses pendampingan dan penanganannya. Saat ini, pendampingan psikologis akan menjadi fokus utama kami sebagai upaya meminimalisir munculnya dampak psikologis seperti trauma atau tekanan emosi lainnya akibat peristiwa traumatis yang terjadi khususnya kepada anak korban AKE,” kata Nahar.
Lebih lanjut, Nahar menjelaskan bahwa dalam hal kasus pembunuhan dan bunuh diri dimana ibu S (40) dan anak ARE (12) meminum obat nyamuk cair, terdapat kekerasan terhadap anak dan melanggar Pasal 76C jo. Pasal 80 ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, dalam hal anak sebagaimana dimaksud mati, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan dapat ditambah sepertiga apabila yang melakukan penganiayaan tersebut adalah orang tuanya. Selain itu, dapat dikenakan Pasal 44 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, dimana setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga mengakibatkan korban mendapat jatuh sakit atau luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp 30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah) dan dalam hal perbuatan dimaksud mengakibatkan matinya korban, maka dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling banyak Rp 45.000.000,00 (empat puluh lima juta rupiah).
Pada kesempatan tersebut, Nahar mengingatkan kepada keluarga dan semua pihak agar selalu melakukan pengawasan terhadap lingkungan sekitar agar dapat dengan mudah mendeteksi jika adanya ancaman yang membahayakan pihak-pihak lain, khususnya anak. Nahar juga mengimbau agar masyarakat segera melapor kepada pihak berwajib jika mendapatkan atau menemui kasus kekerasan yang melibatkan perempuan dan anak di sekitarnya. Dengan berani melapor, maka akan dapat mencegah berulangnya kasus sejenis terjadi kembali. Kemen PPPA mendorong masyarakat yang mengalami atau mengetahui segala bentuk kasus kekerasan segera melaporkannya kepada Layanan SAPA 129 Kemen PPPA melalui kanal hotline 129 atau WhatsApp 08111-129-129 atau melaporkan ke polisi setempat.(*)