Wamen LHK Tegaskan Pentingnya Kerja Bersama dalam Tangani Karhutla

lensareportase.com, Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Indonesia 99% disebabkan oleh faktor manusia, baik karena kelalaian atau kesengajaan. Pada umumnya dilatarbelakangi oleh pembukaan lahan untuk kebutuhan lahan baik pemukiman, pertanian atau perkebunan. Selain itu, juga ada yang disebabkan oleh konflik lahan dan kecemburuan sosial. Hal tersebut disampaikan Wakil Menteri (Wamen) Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Alue Dohong saat menjadi narasumber pada acara Forum Merdeka Barat 9, di Jakarta (31/05/2021).

Pada acara tersebut, Wamen Alue mengingatkan kembali arahan Presiden RI pada Rakornas Pengendalian Karhutla di Istana Negara (22/2/2021), untuk pengendalian karhutla, yaitu:
(1) Prioritaskan upaya pencegahan, melalui deteksi dini, monitoring areal rawan hotspot, dan pemantauan kondisi harian di lapangan; (2) Infrastruktur monitoring dan pengawasan harus sampai ke bawah dengan melibatkan Babinsa, Bhabinkamtibmas, kepala desa dalam penanganan karhutla serta mengajak tokoh agama dan tokoh masyarakat untuk memberikan edukasi terus menerus kepada masyarakat; (3) Cari solusi yang permanen agar korporasi dan masyarakat membuka lahan dengan tidak membakar; (4) Penataan ekosistem gambut dalam kawasan hidrologi gambut harus terus dilanjutkan (5) Jangan biarkan api membesar, harus tanggap dan jangan terlambat sehingga api sulit dikendalikan; dan (6) Langkah penegakan hukum dilakukan tanpa kompromi, berikan sanksi yang tegas sehingga ada efek jera.

Read More
banner 300x250

Wamen Alue Dohong menyampaikan, kerja bersama yang melibatkan berbagai pihak juga terus ditingkatkan untuk mencegah karhutla. “Sekarang, kita terus laksanakan rapat koordinasi bulanan untuk penanggulangan karhutla yang melibatkan berbagai pihak termasuk pemerintah daerah. Koordinasi ini sangat penting, seperti sharing data dan informasi, misalnya data prediksi jumlah hari tanpa hujan dan kekeringan dari BMKG,” ungkap Wamen Alue Dohong.

Baca Juga :  Wamen LHK Diskusikan FLEGT VPA dan Restorasi Gambut dengan Pemerintah Jerman

Berdasarkan pengalaman pengendalian karhutla pasca tahun 2015 juga, terdapat tiga klaster utama yang menjadi strategi solusi permanen pengendalian pencegahan karhutla. Klaster pertama adalah pengendalian operasional dalam sistem Satgas Terpadu di tingkat wilayah yang diperkuat dengan Masyarakat Peduli Api (MPA) yang  dilengkapi sarana dan pengetahuan teknis serta dibekali pengetahuan paralegal. Klaster kedua, dilakukan dengan analisis iklim dan rekayasa hari hujan melalui Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC). TMC sebagai upaya pencegahan karhutla dilakukan dengan tujuan membasahi kawasan gambut yang rawan karhutla, mengisi kanal-kanal, kolam retensi, dan embung untuk menekan potensi karhutla. Klaster ketiga, adalah pembinaan tata kelola lanskap, khususnya dalam ketaatan pelaku/ konsesi, praktik pertanian, dan penanganan lahan gambut.

Kemudian pada tahun 2021, operasi Teknologi Modifkasi Cuaca (TMC) telah dilakukan di Provinsi Riau dan Kalimantan Barat. Hasilnya, secara umum prosentase penambahan curah hujan periode TMC Maret – April 2021 di Provinsi Riau berkisar 33–64% terhadap curah hujan alamnya. Penambahan curah hujan di lokasi penyemaian awan sekitar 194.3 Juta m3. Sedangkan di Provinsi Kalimantan Barat prosentase penambahan curah hujan periode TMC Maret – April 2021 di Provinsi Kalbar berkisar 7–44% terhadap curah hujan alamnya. Penambahan curah hujan di lokasi penyemaian awan sekitar 191.6 Juta m3.

Upaya pencegahan lainnya adalah patrol pencegahan karhutla berupa patrol terpadu dan patrol mandiri. Patroli Terpadu dilaksanakan di Riau menjangkau 50 desa, Kepulauan Riau menjangkau 2 desa, dan Jambi menjangkau 10 desa. Patroli Mandiri dilaksanakan oleh Manggala Agni yang hingga saat ini telah dilaksanakan pada 567 posko desa di provinsi rawan (s.d. April 2021). Wilayah Sumatera 207 desa, Wilayah Kalimantan 320 desa, wilayah Sulawesi 40 desa.

Baca Juga :  Berita Foto: Panglima TNI Hadiri Sidang Kabinet Paripurna di Istana Negara

Terkait dengan luas lahan terbakar, data Direktorat Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan (PKHL), KLHK menunjukkan bahwa jika menggunakan baseline tahun 2015, pada tahun 2016-2019 luas karhutla di Indonesia mengalami penurunan. Pada tahun 2016 terjadi penurunan 83%, tahun 2017 turun 94%, tahun 2018 turun 80%, tahun 2019 turun 37%, dan pada tahun 2020 terjadi penurunan 89%.

Pasca peristiwa karhutla 2015 terdapat perubahan paradigma dalam penanganan karhutla yang lebih mengedepankan upaya-upaya pencegahan. Kemudian, luas karhutla tahun 2021, sampai dengan 30 April 2021 total seluas 28.872 ha. Terdiri dari 9.949 ha terjadi di lahan mineral, dan 18.923 ha terjadi di lahan gambut. Jika dibandingkan dengan tahun 2020 terdapat penurunan sebesar 90,28%.(*)

Related posts