lensareportase.com, JAKARTA – Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Abdul Halim Iskandar menyatakan desa mampu menjadi penyangga ekonomi nasional sepanjang pandemic Covid-19 dalam kurun dua tahun terakhir. Fakta ini didasarkan pada beberapa indikator seperti meningkatnya pendapatan per kapita warga desa, terkendalinya angka pengangguran terbuka, dan terjaganya fluktuasi angka kemiskinan di level desa.
“Harus diakui jika ekonomi desa selama pandemi Covid-19 mampu menjadi penyangga ekonomi nasional. Fakta ini tentu bukan sekadar pernyataan kosong tetapi didukung dengan beberapa indikator terukur yang bisa dicek di lapangan,” ujar Abdul Halim Iskandar, Kamis (30/12/2021).
Dia mengatakan ketahanan ekonomi desa selama pandemi salah satunya ditunjang dengan adanya dana desa yang dari tahun ke tahun terus meningkat. Dana desa ini menjadi penopang utama APBDes. Pada tahun 2014 atau sebelum ada Dana Desa, rata-rata APBDes per desa itu Rp329 juta/desa. Tahun 2015 saat Dana Desa dikucurkan langsung melesat menjadi Rp701 juta/desa, bahkan pada tahun 2021, rata-rata APBDes melonjak hingga Rp1,6 Miliar/desa. “Sepanjang pandemi, APBDes masih meningkat dari total Rp117 triliun pada 2019 menjadi Rp121 triliun pada 2021,” ujarnya.
Tingginya APBDes ini, kata Gus Halim berdampak pada beberapa sektor esensial yang menopang perekonomian nasional. Dari sektor pendapatan per kapita warga desa misalnya terjadi peningkatan meskipun dalam situasi pandemic Covid-19. Pendapatan warga desa tetap meningkat dari Rp882.829 perkapita/bulan menjadi Rp 971.445 perkapita/bulan. “Peningkatan pendapatan warga desa ini salah satunya karena adanya Program Padat Karya Tunai Desa selama pandemi. Selain itu juga adanya berbagai proyek infrastruktur level desa yang dilakukan secara swakelola di mana semua pekerjanya dari warga desa pun juga belanja barangnya juga dari toko-toko di desa juga,” ujarnya.
Adanya proyek-proyek di level desa ini, kata Gus Halim juga membuat pengangguran terbuka di desa menjadi terkendali. Menurutnya sepanjang pandemi Covid-19, tingkat pengangguran terbuka di desa tetap rendah, dan hanya naik dari 3,92% menjadi 4,71%. “Jika dibandingkan dengan tingkat kenaikan pengangguran terbuka di kota cukup kontras karena kenaikan di kota cukup tinggi yakni dari angka 6,29 menjadi 8,98%,” katanya.
Tingkat ketimpangan ekonomi di desa, lanjut Gus Halim juga tetap terjaga rendah dan terus merata. Hal itu tampak dari dari indeks Gini 0,320 pada 2019 menjadi 0,315 pada 2021. Jika dibandingkan dengan dengan gini ratio di kota yang kian tinggi dari 0,393 menjadi 0,401. “Ini artinya ekonomi desa tetap positif, bahkan menjadi penyangga ekonomi nasional sepanjang pandemi Covid-19 sejak 2020 hingga 2021,” katanya.
Mantan Ketua DPRD Jawa Timur ini optimistis jika pembangunan desa di masa depan akan semakin konstruktif. Apalagi saat ini Kemendesa PDTT telah merumuskan arah pembangunan desa dalam SDGs Desa. Rumusan ini merupakan upaya melandingkan Percepatan Pembangunan Nasional Berkelanjutan. SDGs Desa ini memuat 18 tujuan dengan 222 Indikator. Kekhasan SDGs Desa itu terdapat pada tujuan ke-18 yaitu Kelembagaan Desa Dinamis dan Budaya Desa Adaptif, arahnya bahwa perencanaan dan pelaksanaan pembangunan di desa harus bertumpu pada akar budaya masyarakat setempat.
Transformasi 2022 yang dilakukan oleh Kemendesa PDTT adalah, pertama tepat teknologi yang menuju terwujudnya Desa Cerdas atau Smart Village dengan basisnya teknologi. Kunci utama adalah jaringan dengan melakukan kerjasama dengan Kementerian Kominfo, BAKTI dan pihak lain hingga semakin berkurang desa yang tidak miliki jaringan. “Ini terbukti dari pemantauan kita dari pendataan IDM berbasis SDGs Desa cukup bagus, hingga di Papua masih bagus. Dana Desa pun bisa dipergunakan untuk percepatan penguatan jaringan internet,” kata Gus Halim.(*)