lensareportase.com, Jakarta – Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia (MIPI) menggelar webinar bertajuk “Peluang dan Tantangan Keterwakilan Perempuan di KPU RI dan Bawaslu RI Menuju Pemilu 2024”. Webinar yang diselenggarakan pada Minggu (10/10/2021) menghadirkan empat narasumber: Sri Budi Eko Wardani (Dosen FISIP UI), Hurriyah (Wakil Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik FISIP UI), Luluk Nur Hamidah (Sekretaris Presidium Kaukus Perempuan Parlemen Republik Indonesia Anggota DPR RI Fraksi PKB), dan Nurliah Nurdin (Dewan Pakar MIPI).
Sekretaris Jenderal (Sekjen) MIPI Baharuddin Thahir dalam sambutannya menyampaikan, tema yang diangkat termasuk sensitif karena berkaitan dengan gender. Menurutnya, dengan jumlah populasi perempuan Indonesia yang sangat besar, tingkat keterlibatan perempuan dalam politik di Indonesia menarik untuk dikaji. Terutama menyangkut realisasi keterwakilan perempuan sebesar 30 persen dalam pemilihan calon anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), sebagaimana amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
“Kalau kita lihat bagaimana peluangnya, kita bisa lihat juga dari berbagai macam regulasi, dan bisa kita tinjau dari perspektif afirmasi. Apakah perempuan diberikan kesempatan atau diperlakukan khusus dibanding dengan kaum laki-laki,” kata Baharuddin.
Ia melanjutkan, kemungkinan perempuan untuk menjadi komisioner KPU dan Bawaslu bisa dilihat dari konfigurasi anggota KPU daerah atau di tingkat kabupaten/kota dan provinsi. Juga dari tingkat seberapa besar jumlah perempuan terlibat dalam organisasi kemasyarakatan dan akademik.
Sementara itu, Wakil Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik (Puskapol) FISIP UI Hurriyah memaparkan, upaya mendorong peningkatan keterwakilan perempuan di lembaga penyelenggara Pemilu memiliki persoalan dalam sisi jumlah. Adapun soal rendahnya keterlibatan perempuan dalam lembaga penyelenggara Pemilu, menurutnya, karena regulasi masih kurang kuat dalam menjamin keterwakilan perempuan. Selain itu juga dukungan politik dinilai masih lemah dan perspektif gender belum merata.
“Ada klausul 30 persen iya, tapi kata ‘memperhatikan’ yang ada di dalam undang-undang, itu membuat komitmen untuk melakukan kuota 30 persen ini menjadi relatif rendah gitu. Makanya kita lihat di tingkat provinsi atau kabupaten/kota masih ada KPU dan Bawaslu yang jumlah komisioner KPU/Bawaslu semuanya laki-laki,” tuturnya.
Ia menambahkan, dari sisi internal, meskipun banyak perempuan yang memiliki potensi dan bisa didorong untuk mencalonkan diri, tetapi lewat riset yang dilakukan Puskapol UI ditemukan persoalan lain. Persoalan tersebut meliputi motivasi dan kepercayaan diri yang masih belum cukup kuat meski memiliki pengetahuan dan pengalaman yang mendukung. Akses terhadap informasi juga belum merata bagi perempuan, di samping dukungan yang diberikan pihak keluarga dan kolega masih rendah.
“Dukungan terhadap perempuan, baik itu dari dukungan keluarga, dukungan kolega, gitu ya, dukungan masyarakat, termasuk dukungan politik yang nantinya dibutuhkan, itu masih menjadi catatan,” tandasnya.(*)
MIPI