lensareportase.com, Pada Selasa 21 September 2021, Wakil Jaksa Agung RI, Setia Untung Arimuladi, SH. M.Hum memberikan sambutan pada Pelatihan Prinsip dan Kerangka Hukum Hak Asasi Manusia bagi Jaksa Penuntut Umum secara virtual dari ruang kerja Wakil Jaksa Agung di Gedung Menara Kartika Adhyaksa Kebayoran Baru, Jakarta Selatan yang akan berlangsung pada Selasa 21 September 2021 s/d Kamis 23 September 2021.
Mengawali sambutannya, Wakil Jaksa Agung RI menyampaikan apresiasi kepada segenap pihak, khususnya kepada Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP) dan Center for Human Rights and International Justice, Stanford University, Norwegian Center of Human Rights (NCHR), serta pihak-pihak lainnya yang telah mensukseskan terselenggaranya Pelatihan ini, sehingga dalam beberapa hari kedepan kita dapat bersama-sama belajar, bertukar pikiran serta membuka ruang diskusi untuk lebih memehami kerangka hukum HAM khususnya bagi Jaksa Penuntut Umum.
Wakil Jaksa Agung RI mengatakan konsep negara hukum menempatkan ide perlindungan hak asasi manusia (HAM) sebagai salah satu elemen penting. Mendasarkan pada hal tersebut, maka konstitusi harus mencantumkan pengaturan hak asasi manusia agar adanya jaminan perlindungan oleh negara terhadap hak-hak warga negara. Di Indonesia salah satu perubahan penting dalam Amandemen UUD 1945 adalah pengaturan hak warga negara lebih komprehensif dibanding UUD 1945 (pra-amandemen) yang mengatur secara umum dan singkat. Adapun catatan dugaan pelanggaran HAM di masa lalu memberikan pelajaran bahwa pengaturan hak-hak warga negara harus diatur lebih rinci dalam Amandemen UUD 1945.
Amandemen UUD 1945 telah memasukkan jaminan perlindungan dan pemenuhan hak warga negara dalam konstitusi. Dalam UUD 1945 telah mengatur secara komprehensif tentang hak-hak warga negara dan sekaligus kewajiban negara, tidak dapat dipungkiri bahwa pengaturan dan implementasi HAM dan kewajiban Negara saling beririsan. Beberapa pasal yang mengatur HAM antara lain Pasal 26 (penduduk dan warga negara), Pasal 27 (jaminan persamaan di muka hukum dan pemerintahan), Pasal 28 (pengaturan rinci jaminan hak-hak warga negara), Pasal 29 (kebebasan beragama), Pasal 30 (pertahanan negara), Pasal 31 (pendidikan) dan Pasal 32 (kebudayaan daerah).
Selanjutnya sejak tahun 1999 Indonesia telah memiliki Undang-Undang tentang Hak Asasi Manusia yang tertuang di dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999, Hak Asasi Manusia didefinisikan sebagai seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa serta merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dijunjung oleh negara, hukum, pemerintah dan juga setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat martabat manusia. Mendasarkan pada hal demikian, Hak Asasi Manusia (HAM) dapat dimaknai sebagai hak-hak dasar yang dimiliki manusia yang dibawanya sejak lahir berkaitan dengan martabat dan harkatnya sebagai ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang tidak boleh dilanggar, dilenyapkan oleh siapa pun juga. Berkaitan dengan hal itu, bangsa Indonesia sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa mengemban tanggung jawab moral dan hukum untuk menjunjung tinggi dan melaksanakan Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia yang telah ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, serta berbagai instrumen internasional lainnya mengenai hak asasi manusia yang telah diterima oleh negara Republik Indonesia.
Wakil Jaksa Agung RI mengatakan Kejaksaan sebagai lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara dibidang penuntutan, yang memiliki tugas dan kewenangan diantarnya melakukan penuntutan, melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, melakukan penyelidikan terhadap tindak pidana tertentu, serta kewenangan melekat lainnya seperti yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia menyebutkan, Jaksa Agung sebagai Penyidik Tindak Pidana Pelanggaran HAM Berat.
Bahkan fungsi penyidikan dalam perkara pelanggaran HAM Berat juga diakui secara universal dan diatur secara tegas dalam Pasal 53 ayat (1) United Nations Rome Statute of the International Criminal Court 1998 (Statuta Roma) yang menyatakan bahwa penyidik perkara pelanggaran HAM Berat adalah Jaksa, sehingga apabila kewenangan tersebut dilakukan oleh lembaga negara lain, maka Pengadilan berhak untuk menolak kasus tersebut.
Pada prinsipnya Kejaksaan adalah salah satu aktor penting dalam proses peradilan pidana. Dengan demikian, penerapan prinsip-prinsip HAM dalam proses peradilan juga menjadi hal yang sangat penting untuk dilakukan oleh Kejaksaan, khususnya dalam menjalankan kewenangan penuntutan dan pelaksanaan putusan pengadilan. Hal ini pada dasarnya sudah disebutkan dalam penjelasan umum Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 bahwa Kejaksaan sebagai salah satu lembaga penegak hukum dituntut untuk lebih berperan dalam penegakan Hak Asasi Manusia (HAM). Lebih lanjut, dalam Pasal 3 huruf k Peraturan Jaksa Agung No. PER-067/A/JA/07/2007 tentang Kode Perilaku Jaksa sudah mengatur bahwa salah satu kewajiban Jaksa adalah menghormati dan melindungi HAM dan hak-hak kebebasan sebagaimana yang tertera dalam peraturan perundang-undangan dan instrumen Hak Asasi Manusia yang diterima secara universal, selain itu Jaksa juga berfungsi sebagai penyeimbang rasa keadilan di masyarakat, menyeimbangkan doelmatigeheid dan rechmatigeheid.
Selaras dengan hal yang telah diuraikan, Presiden Joko Widodo dalam Pidatonya pada Rapat Kerja Kejaksaan Agung pada Desember Tahun 2020 dalam kaitanya dengan penyelesaian pelanggaran HAM masa Lalu. Presiden menyampaikan bahwa Kejaksaan adalah aktor kunci dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu, menindaklanjuti arahan Presiden tersebut, Kejaksaan telah membentuk Tim Khusus Penuntasan Dugaan Pelanggaran HAM Berat melalui Surat Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor 263 Tahun 2020 tanggal 29 Desember 2020.
Wakil Jaksa Agung RI menyampaikan pembentukan Timsus HAM ini adalah upaya konkrit Kejaksaan dalam rangka percepatan penuntasan dugaan pelanggaran HAM yang berat, juga sebagai bentuk penegasan kembali komitmen dan dukungan penegakan hukum oleh Kejaksaan sebagai bentuk penghormatan, pengakuan, dan pemenuhan terhadap Hak Asasi Manusia. Untuk itu, penanganan terhadap setiap pelanggaran HAM merupakan suatu keharusan dalam upaya melindungi harkat dan martabat kemanusiaan. Berkenaan dengan hal tersebut, keberadaan Timsus HAM dimaksudkan untuk mengumpulkan, menginventarisasi, dan mengidentifikasi, sekaligus memitigasi berbagai permasalahan atau kendala yang menjadi hambatan, serta merumuskan rekomendasi penuntasan dugaan pelanggaran HAM yang berat. Tentunya dengan tugas dan tanggungjawab tersebut, diperlukan diskusi yang berkelanjutan, penyegaran pengetahuan, keahlian dan keterampilan dalam penyidikan, penuntutan kasus-kasus yang berkaitan dengan pelanggaran HAM berat.
Oleh karena itu saya memandang tepat kerjasama ini dilaksanakan melalui suatu pelatihan yang mengundang para Jaksa Penuntut Umum dan menghadirkan tim serta ahli hukum dan HAM level nasional maupun internasional untuk membahas masalah kerangka penegakan HAM. Dalam beberapa hari kedepan kita akan berdiskusi banyak hal tentang perlindungan dan penegakan HAM yaitu antara lain:
- Pertama, Hak Asasi Manusia Dalam Konsep, Sejarah, dan Pengaturan.
- Kedua, Peran Penuntut Umum dalam Menegakkan dan Melindungi HAM dalam Negara Hukum: Penerapan Prinsip Fair Trial
- Ketiga, Hak Atas Kebebasan Berekpresi (Freedom of Ekspression)
- Keempat, Perlindungan dan Pemulihan (hak-hak) korban tindak pidana.
Wakil Jaksa Agung RI berharap melalui pelatihan ini nantinya akan memberikan pengetahuan dan menambah khasanah bagi para Jaksa Penuntut Umum terkait dengan perkembangan penerapan prinsip-prinsip dan kerangka HAM, baik dalam sistem hukum nasional maupun konteks internasional, yang pada akhirnya dapat dipergunakan oleh para Jaksa dalam pelaksanaan tugas dan fungsi terkait peradilan pidana pada umumnya dan peradilan HAM pada khususnya. Hal tersebut sekaligus menjaga dan melindungi HAM di Indonesia serta menyeimbangkan rasa keadilan di masyarakat.
Dalam penanganan HAM bukanlah hal yang mudah, sehingga diperlukan dukungan bukan saja dari anggota tim, melainkan juga dari seluruh pihak termasuk dari Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP) dan Center for Human Rights and International Justice, Stanford University dan melalui berbagai pelatihan dan/atau workshop maupun bentuk kegiatan lainnya yang menunjang kinerja Kejaksaan, tentu sangat diharapkan.
Sebelum Wakil Jaksa Agung RI menyampaikan sambutan dan membuka pelatihan secara resmi, acara dimulai dengan sambutan oleh Direktur Eksekutif LeIP, Liza Farihah, S.H., dan Duta Besar Kerajaan Norwegia di Indonesia, Amb. H.E., Rut Krüger Giverin, dan dilanjutkan dengan diskusi publik yang mengusung tema “Peran Kejaksaan Dalam Penegakan Hukum dan Perlindungan Hak Asasi Manusia” dengan narasumber sebagai berikut:
- Bapak Narendra Jatna, S.H., LL.M., Kepala Biro Perencanaan pada Jaksa Agung Bidang Pembinaan Kejaksaan Agung Republik Indonesia. Dalam paparannya, Bapak Narendra menjabarkan mengenai praktik dan tantangan penerapan prinsip-prinsip HAM dalam pelaksanaan tugas penuntutan serta pemulihan hak korban;
- Ibu Sandrayati Moniaga, S.H., Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Dalam paparanya, Ibu Sandrayati menyampaikan materi terkait peran kejaksaan sebagai penjamin penegakan HAM menurut hukum nasional serta pengaduan-pengaduan ke Komnas HAM terkait proses penyidikan, seperti adanya penyiksaan, masalah-masalah penahanan sebelum persidangan, dll, dan pemulihan korban pasca putusan pengadilan;
- Prof. David Cohen, Director of Center for Human Rights and International Justice Stanford University. Dalam paparannya, Prof. David Cohen membahas mengenai peran kejaksaan sebagai penjamin penegakan HAM menurut hukum dan standar internasional, khususnya apabila dikaitkan dengan kasus-kasus yang berdimensi hak atas kebebasan berekspresi (freedom of expression);
- Dr. Dian Rositawati, S.H., M.A., Peneliti Senior Lembaga Kajian & Advokasi Independensi Peradilan (LeIP). Dalam presentasinya, Ibu Dian menegaskan peran Jaksa dalam perlindungan Hak Asasi Manusia yang telah disebutkan dalam Guidelines on the Role of Prosecutor dan UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, serta menyoroti peluang dan tantangan Kejaksaan Indonesia dalam penegakan HAM pada proses peradilan pidana.(*)
KEPALA PUSAT PENERANGAN HUKUM