JAKARTA – Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang lanjutan pengujian Pasal 169 huruf (q) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu), Rabu (4/10/2023). Pada sidang kedua dengan agenda mendengarkan perbaikan permohonan Perkara Nomor 107/PUU-XXI/2023 ini, Rudy Hartono yang berprofesi sebagai advokat menyampaikan pokok-pokok perbaikan permohonan. Yakni, legal standing Pemohon adalah warga negara Indonesia yang memiliki hak pilih, kerugian konstitusional Pemohon, pasal pengujian, dan petitum.
“Dalam hal kerugian konstitusional Pemohon, bahwa umur manusia 70 tahun adalah usia manula sehingga dalam memimpin sebagai kepala negara kurang efektif dalam memimpin sehingga berpotensi merugikan hak konstitusional Pemohon,” sampai Rudy dalam Sidang Panel yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Suhartoyo bersama dengan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh dan Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah sebagai hakim anggota.
Sebagai tambahan informasi, permohonan perkara Nomor 107/PUU-XXI/2023 diajukan oleh Rudy Hartono yang mengujikan Pasal 169 huruf (q) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Intinya, Pemohon mempersoalkan ketiadaan pengaturan batasan maksimal usia calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres) dalam UU Pemilu.
Dalam sidang dengan agenda pemeriksaan pendahuluan yang dilaksanakan di MK pada Kamis (21/9/2023) Pemohon menilai ketiadaan pengaturan batasan maksimal usia capres-cawapres tersebut berpotensi melahirkan tindakan diskriminatif dan bertentangan dengan Pasal 8 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) UUD NRI 1945.
Pemohon menyebutkan pembatasan usia maksimal capres-cawapres ini memiliki nilai penting dalam penguatan dan pengukuhan sistem presidensial sebagaimana Pasal 4 ayat (1) UUD 1945. Presiden memiliki posisi sentral dalam pengelolaan penyelenggaraan pemerintahan. Oleh karena posisi Presiden yang demikian, diperlukan kemampuan jasmani dan rohani yang baik. Sehingga pengaturan batas usia maksimal harus dibaca dalam perspektif pengejawantahan frasa “mampu jasmani dan rohani” guna penguatan sistem presidensial dalam desain negara kesatuan.
Oleh karena itu, Pemohon meminta MK menyatakan frasa “‘usia paling rendah 40 (empat puiuh) tahun” pada Pasal 169 huruf q UU Pemilu bertentangan terhadap Pasal 28D ayat (1) dan (3) UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “usia paling rendah 40 (empat puluh) tahun dan paling tinggi usia 70 (tujuh puluh) tahun”.(*)