Terbentuknya Negara : “Pemikiran Barat vs Muslim”

Sejak awal peradaban, konsep tentang negara atau pemerintah telah menjadi topik perdebatan yang menarik di kalangan filsuf, cendikiawan dan pemimpin. Dua perdebatan besar yang membentuk pandangan kita terhadap negara adalah Pemikiran Barat dan Pemikiran Muslim. Terbentuknya negara di dunia Barat dan dalam tradisi Islam menawarkan perspektif yang berbeda. Baik dari segi teori politik, nilai-nilai yang mendasarinya, maupun tujuan dari pembentukan negara itu sendiri.

Sejarah dan Pemikiran Barat tentang Negara

Pemikiran Barat tentang negara berkembang dari era klasik hingga modern, mencerminkan perubahan sosial, politik, dan intelektual. Pada era Yunani kuno, Plato melalui The Republic menggambarkan negara ideal yang bertujuan mencapai keadilan dengan penguasa yang bijaksana (Filsuf Raja). Aristoteles dalam politics, menekankan bahwa manusia adalah makhluk sosial yang membutuhkan negara untuk mencapai kebahagiaan (eudaimonia).

Pada masa Romawi, hukum menjadi Pusat pemikiran negara dengan Cicero menekankan pentingnya hukum sebagai dasar stabilitas negara. Abad pertengahan membawa pengaruh teologi, dengan Santo Agustinus dalam The City of God yang memandang negara sebagai alat sementara untuk menjaga ketertiban duniawi. Thomas Aquinas mengembangkan ajaran Kristen dan filsafat Aristoteles, melihat negara sebagai sarana untuk mewujudkan hukum Ilahi.

Renaisans menggeser pandangan negara kearah sekuler. Niccold Machiavelli, dalam The Prince menekankan kekuasaan dan pragmatisme, memisahkan politik dari moralitas. Pada abad pencerahan, konsep kontrak sosial mendominasi. Thomas Hobbes melihat negara sebagai perlindungan hak asasi manusia. Sementara Jean-Jacques Rousseau mengedepankan kehendak umum sebagai dasar kedaulatan rakyat.

Di era modern, Hegel memandang negara sebagai manifestasi tertinggi dari kehendak umum. Karl Marx melihatnya sebagai alat kelas dominan dan Max Weber mendefinisikannya melalui monopoli kekerasan yang sah. Pemikiran Barat tentang negara menekankan evolusi dari teologi menuju rasionalitas, kedaulatan rakyat, dan perlindungan hak individu, yang menjadi dasar sistem pemerintahan modern.

Baca Juga :  Manfaat Daun Pepaya Jepang

Sejarah dan Pemikiran Muslim tentang Negara

Pemikiran politik dalam tradisi muslim berakar pada nilai-nilai yang termuat dalam AlQuran dan Hadist. Dalam islam, negara adalah alat untuk menerapkan keadilan dan mencapai kesejahteraan berdasarkan hukum syariah. Salah satu dasar yang penting adalah konsep khalifah atau pemerintah yang mengemban umat Allah untuk menjaga umat dan menegakkan hukum-Nya di bumi. Pemimpin negara atau khalifah bertanggung jawab untuk melindungi agama, menjalankan keadilan dan menjaga kesejahteraan rakyat.

Para pemikir muslim klasik seperti Al-Mawardi dan Ibnu Khaldun mengembangkan konsep negara yang berbasis pada syariah. Al-Mawardi misalnya, dalam kitabnya Al-Ahkam AsSulthaniyyah. Sementara itu, Ibnu Khaldun melihat negara sebagai bentuk solidaritas sosial. Di era modern, Pemikiran barat tentang negara di dominasi oleh prinsip-prinsip demokrasi, hak asasi manusia dan sekularisme. Negara sekuler menurut Barat adalah negara yang memisahkan kekuasaan agama dari kekuasaan politik. Ini menjadi model yang dianut oleh Sebagian besar negara Eropa dan Amerika Utara Dimana kebebasan beragama tetapi dihormati. Namun Keputusan negara harus Independen dari ajaran agama.

Namun, yang penting harus dicatat bahwa ada realisasi dalam pemikiran Islam mengenai bentuk negara dan model pemerintahan. Sebagian ulama mendukung model teokrasi yang lebih kental. Sementara yang lain lebih menekankan pada sistem pemerintahan yang demokrasi dan tetap mempertahankan prinsip-prinsip syariat sebagai dasar moral dan hukum negara. Tujuan utama negara adalah melaksanakan perintah Allah dan memastikan kesejahteraan umat sesuai hukum Islam. Beberapa pemikir islam kontemporer, menekankan bahwa negara harus menjadi instrumen untuk menerapkan hukum islam secara menyeluruh. Bagi mereka, negara islam harus menjaga keselarasan antara kebebasan individu dengan kewajiban kolektif untuk menjalankan hukum Allah SWT yang merupakan bentuk keadilan sejati.

Baca Juga :  Inilah yang Terjadi pada Tubuh saat Tersambar Petir

Di era modern, para pemikir muslim seperti Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh dan Hasan Al-Banna menyerukan reformasi terhadap pemikiran politik islam. Mereka berpendapat bahwa umat islam harus mengembangkan negara yang tetap berpijak pada syariah, namun relevan dengan tantangan zaman modern. Pandangan ini mengarah pada terbentuknya negara dengan konsep Negara Islam Modern. Dimana pemerintahan mengadopsi nilai-nilai islam tetapi tetap terbuka terhadap gagasan modern seperti demokrasi.

Bagaimana Pemikiran yang dianut Indonesia?

Indonesia sebagai salah satu negara yang memiliki penduduk mayoritas Muslim memiliki pendekatan yang unik dalam pembentukan negara. Para pendiri bangsa menghadapi perdebatan besar tentang dasar negara. Apakah negara ini harus menjadi negara Islam atau Sekuler? Kemudian lahirlah Pancasila yang dianggap sebagai dasar negara dan menjadi Solusi yang mencerminkan kekhasan Indonesia. Dengan sila pertama yaitu “Katuhanan Yang Maha Esa” yang diartikan sebagai diakuinya keberadaan agama dalam kehidupan bernegara, namun tidak menjadikan agama tertentu sebagai dasar negara. Hal ini mencerminkan semangat toleransi dan keragaman yang dimiliki oleh bangsa Indonesia.

Kesimpulan

Pemikiran Barat dan Pemikiran Islam memiliki pandangan yang berbeda terkait terbentuknya negara. Pemikiran Barat menekankan aspek kemanusiaan dan sekularisme. Sementara Islam berlandaskan Teosentrisme dan aturan agama. Keduanya bertujuan menciptakan kesepakatan, namun berbeda dalam sumber legitimasi , nilai dasar, dan tujuan negara. Di Tengah tantangan modern, Dimana tuntutan terhadap hak asasi manusia dan demokrasi, Indonesia dihadapkan pada tanggung jawab untuk terus mengevaluasi diri. Pemikiran barat yang mendorong demokrasi dan sekularisme memang memberikan inspirasi bagi kemajuan negara. Disisi lain nilai-nilai Islam yang mengedepankan keadilan dan kesejahteraan sosial tetap dianggap relevan untuk menjaga stabilitas Masyarakat. Dalam era globalisasi dan modernisasi ini, sangat penting bagi Indonesia untuk mempertahankan dan menjaga keharmonisan antara kepercayaan agama dan keberagaman.

Baca Juga :  12 Tips Menjadi Single Parent yang Tangguh dalam Membesarkan Anak

Daftar Pustaka

Plato. The Republic. Translated by Benjamin Jowett. New York: Dover Publications, 2000.
Aristotle. Politics. Translated by Carnes Lord. Chicago: University of Chicago Press, 2013.
Cicero. On the Commonwealth and On the Laws. Translated by James E.G. Zetzel. Cambridge:
Cambridge University Press, 1999.
Augustine of Hippo. The City of God. Translated by Henry Bettenson. London: Penguin Classics, 2003.
Aquinas, Thomas. Summa Theologica. Translated by Fathers of the English Dominican Province. New York: Benziger Brothers, 1947.
Machiavelli, Niccolò. The Prince. Translated by Harvey C. Mansfield. Chicago: University of Chicago Press, 1998.
Hobbes, Thomas. Leviathan. Edited by Richard Tuck. Cambridge: Cambridge University Press, 1996.
Rousseau, Jean-Jacques. The Social Contract. Translated by Maurice Cranston. London:
Penguin Classics, 2004.
Hegel, G.W.F. Elements of the Philosophy of Right. Edited by Allen W. Wood, translated by H.B. Nisbet. Cambridge: Cambridge University Press, 1991.
Marx, Karl. The Communist Manifesto. Co-authored with Friedrich Engels. London: Penguin Classics, 2002.
Weber, Max. Politics as a Vocation. In From Max Weber: Essays in Sociology, translated by H.H. Gerth and C. Wright Mills. Oxford: Oxford University Press, 1946.
Al-Mawardi. Al-Ahkam As-Sulthaniyyah. Translated by Asadullah Yate. London: Ta-Ha Publishers, 1996.
Ibn Khaldun. The Muqaddimah: An Introduction to History. Translated by Franz Rosenthal.
Princeton: Princeton University Press, 2005.
Al-Afghani, Jamaluddin. An Islamic Response to Imperialism. Translated by Nikki R. Keddie. Berkeley: University of California Press, 1983.
Abduh, Muhammad. The Theology of Unity. Translated by Ishaq Musa’ad and Kenneth Cragg.
London: Allen & Unwin, 1966.
Al-Banna, Hasan. The Message of the Teachings. Translated by Huda Khattab. Leicester: Islamic Foundation, 1998.

(Indah Permatasari)

Related posts