JAKARTA – Para Pemohon Perkara Nomor 199/PUU-XXIII/2025 menyampaikan perbaikan permohonan pengujian materiil Pasal 239 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, dan DPRD (UU MD3) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945 ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin (17/11/2025). Semula pada pemeriksaan pendahuluan pertama beberapa waktu Pemohon terdiri dari empat orang dan pada sidang perbaikan permohonan hari ini disampaikan Pemohon bertambah satu orang.
“Terdapat penambahan Pemohon yang semula empat orang menjadi lima Pemohon, rasionalnya adalah untuk memperkuat legal standing terutama di bagian kerugian aktual dan spesifik,” ujar Ikhsan Fatkhul Azis (Pemohon I) yang mengikuti persidangan secara daring bersama dengan Rizki Maulana Syafei (Pemohon II), Faisal Nasirul Haq (Pemohon III), Muhammad Adnan (Pemohon IV), dan Tsalis Khoirul Fatna (Pemohon V).
Para Pemohon juga menguraikan kedudukan hukum atau legal standing yang berkaitan dengan kerugian hak konstitusional berupa hak politik sebagai warga negara untuk mengawasi jalannya pemerintahan terutama yang dipilih melalui pemilihan umum (pemilu). Selanjutnya, ada perubahan objek pengujian sehingga mengubah juga bagian petitum. Sebelumnya objek permohonan ini ialah Pasal 239 ayat (1) huruf c UU MD3 kini diubah menjadi Pasal 239 ayat (2) huruf d UU MD3.
Para Pemohon pun menambahkan argumentasi mengenai mekanisme pemberhentian anggota dewan melalui Majelis Kehormatan Dewan (MKD). Terdapat perubahan dan penambahan argumentasi terkait perbandingan praktik recall di berbagai negara serta penambahan argumentasi simulasi recall di Indonesia.
“Permohonan a quo yang dimohonkan oleh Para Pemohon tidaklah berangkat dari kebencian terhadap DPR dan partai politik, melainkan sebagai bentuk kepedulian untuk berbenah. Para Pemohon tidak menginginkan ada lagi korban jiwa akibat kebuntuan kontrol terhadap DPR,” kata Ikhsan.
Dalam petitumnya, para Pemohon memohon kepada Mahkamah untuk menyatakan Pasal 239 ayat (2) huruf d UU MD3 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai bahwa diusulkan oleh partai politiknya dan/atau konstituen di daerah pemilihannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bunyi Pasal 239 ayat (1) huruf c MD3 ialah (1) Anggota DPR berhenti antarwaktu karena: a. meninggal dunia; b. mengundurkan diri; atau c. diberhentikan. Sementara pada ayat selanjutnya diatur anggota DPR diberhentikan antarwaktu apabila tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap sebagai anggota DPR selama tiga bulan berturut-turut tanpa keterangan apa pun; melanggar sumpah/janji jabatan dan kode etik DPR; dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam pidana penjara lima tahuna tau lebih, diusulkan oleh partai politiknya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon anggota DPR sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD; melanggar ketentuan larangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini; diberhentikan sebagai anggota partai politik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; atau menjadi anggota partai politik lain.
Dengan berlakunya ketentuan dalam pasal yang diuji tersebut, menurut para Pemohon, telah nyata terjadi pengeksklusian terhadap partai politik untuk memberhentikan anggota DPR, di mana selama ini praktik yang berjalan seringkali partai politik memberhentikan anggota DPR tanpa alasan yang jelas dengan tidak mempertimbangkan prinsip kedaulatan rakyat, atau sebaliknya ketika terdapat anggota DPR yang semestinya diberhentikan atas permintaan rakyat karena tidak lagi mendapat legitimasi dari rakyat justru dipertahankan oleh partai politik. Tidak tersedianya mekanisme pemberhentian oleh konstituen dalam ketentuan pasal yang diuji tersebut, telah menempatkan peran para Pemohon sebagai pemilih dalam pemilihan umum (pemilu) sebatas prosedural formal, karena anggota DPR terpilih ditentukan berdasarkan suara terbanyak dalam mekanisme pemilu, sedangkan untuk pemberhentiannya tidak lagi melibatkan rakyat.
Para Pemohon pun tidak dapat memastikan wakilnya di DPR benar-benar memperjuangkan kesejahteraan rakyat dan menjalankan janji-janji kampanye mereka sebelum terpilih karena tidak lagi memiliki daya tawar pascapemilu. Praktik yang timbul akibat berlakunya ketentuan dalam pasal yang diuji telah mengabaikan prinsip kedaulatan rakyat yang telah dijamin melalui Pasal 1 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945.
Dengan berlakunya ketentuan dalam pasal yang diuji tersebut, para Pemohon mengaku hak konstitusional untuk berpartisipasi aktif dan perlakuan yang sama terhadap jalannya pemerintahan sebagaimana dijamin melalui Pasal 27 ayat (1) UUD NRI 1945; untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya sebagaimana dijamin melalui Pasal 28C ayat (2) UUD NRI 1945; serta untuk mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum sebagaimana dijamin melalui Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 tidak dapat terwujud. Kerugian hak konstitusional para Pemohon ini bersifat spesifik dan aktual, atau setidak-tidaknya potensial.
Selain itu, sejalan dengan implementasi kewenangan recall yang dimiliki partai politik, telah nyata terjadi praktik yang berseberangan dengan ketentuan UU MD3 dan kehendak rakyat sebagaimana yang terjadi terhadap Ahmad Sahroni dan Nafa Indria Urbach dari Partai Nasional Demokrat (Nasdem), Surya Utama atau Uya Kuya dan Eko Hendro Purnomo atau Eko Patrio dari Partai Amanat Nasional (PAN), dan Adies Kadir dari Partai Golongan Karya (Golkar), yang berdasarkan pernyataan masing-masing partai bersangkutan telah diberhentikan sementara atau dinonaktifkan setelah adanya desakan dari masyarakat. Menurut para Pemohon, alih-alih melakukan pemberhentian dan penggantian sesuai ketentuan UU MD3 sebagaimana tuntutan masyarakat, partai justru menjalankan praktik yang tidak diatur dalam UU MD3 dan justru menimbulkan kebingungan di tengah-tengah masyarakat.
Perkara ini disidangkan Majelis Panel Hakim yang dipimpin Hakim Konstitusi Suhartoyo dengan didampingi Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh dan Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah. Sebelum menutup persidangan, Suhartoyo mengatakan permohonan ini akan disampaikan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim secara pleno yang terdiri dari sembilan hakim konstitusi untuk menyimpulkan apakah permohonan ini bisa diputus tanpa sidang pemeriksaan atau harus dilakukan sidang pemeriksaan untuk pembuktian lebih lanjut yang digelar pada sidang pleno.(*)





