Sejumlah Warga Negara Sampaikan Perbaikan Permohonan Batas Minimal Usia Capres dan Cawapres

JAKARTA, HUMAS MKRI –  Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang kedua dari uji ketentuan batas minimal usia pencalonan presiden dan wakil presiden yang termuat pada Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 (UU Pemilu), Rabu (20/9/2023). Sidang dengan agenda penyampaian perbaikan permohonan ini digelar untuk tiga perkara sekaligus, yakni  Arkaan Wahyu (Mahasiswa FH Universitas Sebelas Maret Surakarta) melalui Perkara Nomor 91/PUU-XXI/2023; Guy Rangga Boro sebagai perseorangan warga negara dalam Perkara Nomor 93/PUU-XXI/2023; dan Riko Andi Sinaga sebagai perseorangan warga negara dalam Perkara Nomor 96/PUU-XXI/2023. Wakil Ketua MK Saldi Isra bertindak sebagai ketua sidang panel bersama dengan Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul dan Arief Hidayat sebagai anggota.

Hadir secara daring dari UNS, Utomo Kurniawan selaku kuasa hukum Pemohon Perkara Nomor 91/PUU-XXI/2023 menyebutkan perbaikan yang telah dilakukan pihaknya. Di antaranya, bagian kewenangan MK dalam mengadili perkara a quo dan petitum.

“Petitum, Pemohon memohonkan kepada Mahkamah  agar menyatakan dalam amar putusan menyatakan Pasal 169 huruf q UU Pemilu bertentangan dengan UUD NRI 1945 sepanjang frasa berusia paling rendah 40 tahun diubah menjadi sekurang-kurangnya berusia 21 tahun,” ucap Utomo.

Berikutnya, Guy Rangga Boro sebagai perseorangan warga negara dalam permohonan perkara Nomor 93/PUU-XXI/2023 menyebutkan pihaknya tidak melakukan perbaikan dan tetap pada pendirian dengan permohonan pertama yang telah diajukan pada persidangan terdahulu.

Pasal Pengujian

Sementara Riko Andi Sinaga sebagai perseorangan warga negara dalam permohonan perkara Nomor 96/PUU-XXI/2023 melalui Purgatorio Siahaan (kuasa hukum Pemohon) menyebutkan beberapa hal yang diperbaiki pada permohonan sebelumnya. Pihaknya memperbaiki skema permohonan sesusai dengan PMK 2/2021. Selain itu, Pemohon juga menghilangkan beberapa pasal dari UUD 1945 sebagai pasal pengujian di antaranya Pasal 6 ayat (2) dan Pasal 28I ayat (2). Berikutnya Pemohon juga menambahkan kewenangan MK serta alasan permohonan terhadap posisi Pemohon sebagai pemilih dalam pemilu.

Baca Juga :  Bawaslu Telah Lakukan 76.225 Aktivitas Pencegahan

“Jadi pada permohonan ini kami sebutkan juga Pemohon bukan hanya sebagai capres dan cawapres, tetapi juga pemilih. Sehingga pada petitum Pemohon memohon pada Mahkamah dengan amar putusan menyatakan frasa ‘berusia paling rendah 40 tahun’ dalam Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 (UU Pemilu) bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum sepanjang tidak dimaknai berusia 25 tahun,” sebut Purgatorio.

Saat sidang pendahuluan pada Kamis (7/9/2023) lalu, Utomo Kurniawan dan Ilyas Satria Agung selaku kuasa hukum Pemohon Perkara Nomor 91/PUU-XXI/2023 menyebutkan kualitas dan kompetensi kepemimpinan tidak berkorelasi dengan usia seorang pemimpin. Pemohon mengilustrasikan dengan perbandingan, bahwa seseorang yang berusia 40 tahun dicalonkan sebagai presiden atau wakil presiden tanpa adanya pengalaman, sementara seseorang berusia 21 tahun saat ini telah menjadi pemimpin di tingkat daerah selama beberapa tahun dan memimpin perusahaan. Sehingga dalam penalaran yang wajar, Pemohon melihat patut dinilai kepemimpinan seseorang yang berusia lebih muda tersebut lebih baik dari yang berusia 40 tahun. Terbukanya peluang masyarakat yang berusia sekurang-kurangnya 21 tahun untuk menjadi capres dan cawapres tidak akan mengakibatkan masyarakat pemimpin yang tidak kompeten. Sebab, usia hanya membuka kesempatan bagi seluruh warga negara Indonesia untuk dapat memilih dan dipilih dalam pemilihan umum.

Kemudian Riko Andi Sinaga sebagai perseorangan warga negara dalam permohonan perkara Nomor 96/PUU-XXI/2023 ini memiliki hak untuk dipilih dan memillih dalam pemilu. Melalui Purgatorio Siahaan (kuasa hukum Pemohon) mengatakan, akibat adanya pembatasan pada Pasal 169 huruf q UU Pemilu tersebut, Pemohon tidak dapat mencalonkan diri sebagai capres dan cawapres. Dengan demikian hak persamaan Pemohon telah ditiadakan dengan berlakunya aturan yang bersifat diskriminatif tersebut. Pada permohonannya, Pemohon menyebutkan beberapa negara seperti Argentina, Kolombia, mensyaratkan usia 30 tahun unutk dapat menjadi capres dan cawapres negaranya. Lebih muda lagi ada Prancis yang mensyaratkan usia 18 tahun dapat dijadikan usia untuk mengajukan diri sebagai pemimpin negara. sementara di Indonesia sendiri, Pemohon menuliskan beberapa kepala daerah yang berusia muda yang menunjukkan pengalamannya dalam memimpin dengan beban kerjanya yang dinilai tidak berbeda jauh dengan beban kerja presiden dan wakil presiden.

Baca Juga :  KPU Mulai Verifikasi Faktual Partai Bulan Bintang

Sementara Guy Rangga Boro sebagai perseorangan warga negara dalam permohonan perkara Nomor 93/PUU-XXI/2023 yang hadir sendiri menyampaikan bahwa perseorangan warga negara yang telah berusia dewasa menurut hukum harus diberikan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum dan pemerintahan. Dengan adanya batasan usia setidaknya 40 tahun sebagai capres dan cawapres atas dasar apapun hal demikian termasuk perlakuan yang bersifat diskriminatif. Untuk menguatkan dalil atas ketentuan batas minimum usia ini, Pemohon menyajikan perbandingan sejumlah perundang-undangan yang berlaku di Indonesia terkait batas usia untuk menduduki suatu jabatan, misalnya UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, usia dewasa adalah di atas 18 tahun; KUHPerdata yang menyebutkan dewasa adalah mereka yang mencapai umur genap 21 tahun dan kawin sebelumnya; Keputusan Mendagri Nomor Dpt.7/539/7-77 tertanggal 13-7-1977 mengenai soal dewasa dapat diadakan pembuatan dalam: a. dewasa politik, misalnya adalah batas umum 17 tahun untuk dapat ikut pemilu, …, c. dewasa hukum dimaksudkan adalah batas umur tertentu menurut hukum yang dapat dianggap cakap bertindak dalam hukum. (*)

Related posts