lensareportase.com, Jakarta – Sebagai respons atas terbitnya Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (HKPD), Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia (MIPI) menggelar webinar sesi II bertajuk “Memahami Undang-Undang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah” pada Sabtu (29/1/2022).
Webinar yang dipandu oleh Aprilia Putri ini dihadiri oleh tiga narasumber, yaitu Direktur Dana Transfer Umum Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Adriyanto, Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Riau Syahrial Abdi, dan Dosen Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Dadang Suwanda.
Sekretaris Jenderal (Sekjen) MIPI Baharuddin Thahir dalam sambutannya mengatakan, keberadaan UU HKPD ini menarik perhatian, sehingga MIPI membantu pemerintah ikut aktif berpartisipasi menyosialisasikan UU tersebut. Pasalnya, banyak pihak yang ingin mengetahui dan memahami UU tersebut dengan lebih jelas, termasuk pemerintah daerah yang akan menindaklanjutinya.
“Terkait undang-undang ini banyak, dari segi nomenklatur saja sudah banyak yang mempertanyakan. Dulu dengan nomenklatur perimbangan keuangan, sekarang nomenklaturnya adalah hubungan keuangan,” katanya.
Ia menjelaskan, UU HKPD tidak hanya merevisi atau mengubah UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, tapi juga mempengaruhi UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
“Concern MIPI adalah bagaimana amanat reformasi, demokratisasi, dan otonomi itu ya, khususnya desentralisasi pemerintahannya, atau pemerintahan daerah itu bisa ada, hadir, dalam setiap regulasi, setiap kebijakan, termasuk dalam konteks hubungan keuangan,” ujar Baharuddin Thahir.
Sementara itu, Direktur Dana Transfer Umum Kemenkeu Adriyanto menyampaikan, landasan dari UU HKPD yaitu hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan daerah, diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras.
“Sumber daya yang ada di daerah dan pusat ini pengelolaannya adalah diatur dengan undang-undang. Instrumen untuk ini, instrumennya ada beberapa, termasuk di dalamnya itu adalah transfer ke daerah, baik yang melalui DAU (Dana Alokasi Umum), DBH (Dana Bagi Hasil), dan lain-lain,” tuturnya.
Adriyanto menjelaskan, dana-dana transfer itu sifatnya untuk mengatasi dan mengurangi ketimpangan di daerah. Ini sejalan dengan semangat yang diusung UU HKPD yang mengharuskan adanya sinergi yang semakin kuat antara kebijakan fiskal di pusat dan di daerah, seperti terlihat pada beberapa tahun terakhir dalam penanganan Covid-19 antara pusat dan daerah.
“Makanya dalam undang-undang ini, terminologi ya yang digunakan itu adalah disebut dengan hubungan keuangan pusat dan daerah,” tandasnya.
Adapun Kepala Bapenda Riau Syahrial Abdi menyampaikan, sebagai bagian dari pemerintah daerah, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Riau bersyukur dengan lahirnya UU HKPD. Undang-undang tersebut diharapkan benar-benar menjadi representasi dari pengelolaan keuangan negara dan pengelolaan daerah untuk memberikan manfaat sebesar-besarnya kepada masyarakat Indonesia.
“Perimbangan keuangan adalah hubungan keuangan. Mudah-mudahan hubungannya semakin mesra dan baik-baik saja dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia,” ujarnya.
Ruang lingkup hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, menurutnya, sudah cukup baik, di mana ada (1) pemberian sumber Penerimaan Daerah berupa pajak dan retribusi, (2) pengelolaan transfer ke daerah, (3) pengelolaan Belanja Daerah, (4) pemberian kewenangan untuk melakukan pembiayaan daerah, dan (5) pelaksanaan sinergi kebijakan fiskal nasional.
“Kami harap di Undang-Undang HKPD ini juga bisa merapikan perhitungan itu kembali,” harapnya.
Sementara itu, Dosen IPDN Dadang Suwanda memaparkan, UU HKPD sudah bagus karena mengisi kekosongan terkait hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah. Namun demikian, dia mengkiritik soal reformasi fiskal di daerah yang belum bisa mandiri, atau dengan kata lain masih sangat bertumpu pada transfer dari pusat.
“Butuh sinergitas, butuh kolaborasi, memang butuh waktu, tidak bisa sebentar,” jelasnya.(*)
Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia