honorer asal Sukabumi yang memulung sepulang mengajar. Memulung menjadi pekerjaan sampingan Alvi selama 36 tahun untuk menutupi kebutuhan hidupnya.
Dede melihat kisah Alvi merupakan cerminan dan tantangan nyata yang dialami oleh ribuan guru honorer di Indonesia. Ia mengatakan, Pemerintah memiliki tanggung jawab besar untuk memastikan kesejahteraan para guru dapat terwujud, termasuk guru honorer. “Kisah guru Alvi ini menjadi potret buruk penghargaan Negara bagi para tenaga pendidik,” ucap Dede.
“Pemerintah perlu segera meninjau kembali struktur upah bagi guru honorer, serta menetapkan standar minimum yang jelas agar mereka mendapatkan gaji yang sesuai dengan peran penting yang mereka emban,” lanjutnya.
Dede berharap, Pemerintah ke depan bisa memperbaiki persoalan kesejahteraan guru. Terutama bagi para guru honorer yang walaupun statusnya merupakan pegawai tenaga harian lepas (THL), tapi pekerjaannya pun sama beratnya dengan guru ASN.
“Guru honorer juga berhak mendapat penghasilan yang layak, jaminan sosial, perlindungan kerja, serta akses yang adil terhadap pelatihan dan pengembangan profesional,” kata Dede.
Dede memahami, Pemerintah sudah berusaha memperbaiki sistem perekrutan guru lewat seleksi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). “Tapi kan proses ini juga nggak mudah. Slot yang diberikan tidak mencukupi untuk guru honorer eksisting yang jumlahnya sangat besar itu,” tukasnya.
Dede mengingatkan, faktor kesejahteraan bagi guru berpengaruh terhadap kualitas layanan pendidikan. Sebab hal ini berdampak pada motivasi bagi guru untuk mengajar. “Jangan sampai masa depan penerus bangsa menjadi terdampak akibat kurangnya perhatian Negara terhadap kesejahteraan guru,” tegas Dede.
Selain dengan membuat anggaran pendidikan menjadi satu pintu di Kementerian Pendidikan, Dede pun menekankan pentingnya reformasi struktur pendidikan dan redistribusi guru. “Ini bisa mengatasi kesenjangan dalam distribusi guru dengan meredistribusi tenaga pengajar secara merata, terutama ke daerah-daerah terpencil,” urainya.
Lebih lanjut Dede menilai, dana pendidikan juga harus lebih didesentralisasikan ke daerah dengan pengawasan ketat untuk memastikan bahwa kesejahteraan guru honorer menjadi prioritas, kendati realitanya masih ada anggaran yang tersebar untuk pendidikan kedinasan.
“Utuk kementerian yang memiliki pendidikan kedinasan, itu bisa menggunakan sistem beasiswa. Jadi ditempatkan di perguruan tinggi-perguruan tinggi, tetapi di berikan beasiswa oleh kementerian atau lembaga lainnya,” ujar Legislator Dapil Jawa Barat II itu.
Dengan demikian, menurut Dede, anggaran pendidikan dapat fokus terealisasi untuk menangani berbagai permasalahan yang penting seperti meningkatkan kesejahteraan guru. “Pemerintah harus memperketat pengawasan terhadap lembaga-lembaga pendidikan, terutama di daerah-daerah yang masih sering mengabaikan kesejahteraan guru honorer,” harap Dede.(*)