“Dimana di hadapan hukum mendapatkan perlakukan yang sama—dalam hal ini ketentuan pada Pasal 10 UU Hak Cipta telah lebih memberikan perlindungan terhadap pencipta atau pemegang hak cipta dibandingkan dengan undang-undang sebelumnya karena dapat dikatakan lebih memberikan rasa keadilan bagi si pencipta atas berbagi tindakan pelanggaran hak ekonomi suatu ciptaan serta dimaksudkan agar pengelola pasar lebih menghargai hasil karya pencipta. Dengan demikian pertanggungjawaban atas peredaran karya cipta illegal tidak hanya bertumpu pada pihak pengganda maupun penjual saja. Hal ini juga sejalan dengan ketentuan Pasal 28C Ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (4) dan Pasal 28I ayat (5) UUD 1945,” terang Asep.
Asep juga menegaskan, UU Hak Cipta berupaya untuk menjamin perlindungan hak-hak pencipta sehingga dengan kondisi perkembangan teknologi informasi saat ini perlu untuk meningkatkan perlindungan yang lebih efektif dan efisien. Sebagai wujud dari hal tersebut Pemerintah melalui Kementerian Hukum dan HAM dan Kementerian Komunikasi dan Informatika telah mengeluarkan Peraturan Bersama Menkum HAM dan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 14 Tahun 2015 dan Nomor 26 Tahun 2015 tentang Pelaksanaan Penutupan Konten dan/atau Hak Akses Pengguna Pelanggaran Hak Cipta dan/atau Hak Terkait dalam Sistem Elektronik yang didasarkan pada kententuan Pasal 54 dan Pasal 55 UU Hak Cipta. Peraturan ini memberikan dasar hukum bagi pemegang hak cipta untuk mengajukan permohonan kepada Kementerian atau lembaga terkait untuk menutup akses atau menghapus konten yang melanggar hak cipta atau hak terkait di platform digital atau situs web tertentu. Proses ini dilakukan dengan mempertimbangkan prinsip-prinsip keadilan dan keseimbangan hak serta hak pemakai informasi dan teknologi.
“Peraturan ini juga mencakup tata cara pelaporan, penanganan pengaduan, dan proses peninjauan bagi pihak yang terdampak penutupan konten atau hak aksesnya. Tujuan dari peraturan ini adalah untuk melindungi hak cipta dan hak terkait secara efektif dalam lingkungan digital, meminimalkan pelanggaran hak cipta, dan menciptakan lingkungan hukum yang menghormati hak-hak kreatif dalam era teknologi informasi dan komunikasi,” terang Asep.
Sementara, DPR yang diwakili oleh Anggota Komisi XI Wihadi Wiyanto menyampaikan digital platform sebagai salah satu bentuk kemajuan teknologi informasi saat ini adalah infrastuktur daring yang berbasis perangkat lunak atau perangkat yang memfasilitasi interaksi dan transaksi pengguna. Kehadiran digital platform membuat seluruh kegiatan diatas bisa dilakukan dalam satu tempat yang mempertemukan langsung pemberi dan penerima informasi, penyedia, dan pemakai jasa atau layanan serta pihak penjual dan pembeli.
Karena sifatnya luas, sambung Wihadi, digital platform memiliki jenis-jenis yang berbeda dan perbedaan ini muncul mengikuti keragaman fungsi dan tujuan dari dibentuknya suatu digital platform. Sampai dengan saat ini digital platform terus berkembang yang semula bersifat statis menjadi interaktif. Penggunaan digital platform dengan bentuk UGC merupakan salah satu contoh perkembangan yang semula bersifat statis menjadi interaktif. Digital platform UGC saat ini diminati sebagai wadah publikasi dan sekaligus pengembangan hak cipta sebagian besar UGC mempunyai akses untuk pengguna membuka lagu atau video yang bertujuan menarik banyak penonton sehingga ini mendorong kreativitas penggunanya dalam menggunakan karya cipta asli menjadi konten yang lebih unik dan menarik untuk ditonton.