BIREUN, ACEH – Pengadilan Negeri (PN) Bireuen, Aceh berhasil mendamaikan kasus penghinaan menggunakan hukum adat Aceh yaitu prosesi adat Pesijeuk. Bagaimana kisahnya?
Sidang itu dipimpin majelis ketua Rangga Lukita Desnata dengan anggota Fuady Primaharsa, dan M. Muchsin Alfahrasi Nur. Majelis menggelar prosesi adat Pesijeuk. Sabtu (01/03/2025)
“Sidang digelar pada hari Rabu tanggal 27 Februari 2025 di ruang sidang utama PN Bireuen,” demikian keterangan pers PN Bireuen yang diterima DANDAPALA, Jumat (28/2/2025).
Pesijeuk dipimpin oleh seorang Tengku (ulama) dan dihadiri oleh tokoh-tokoh masyarakat setempat.
“Pesijeuk ini merupakan adat Aceh, salah satunya diselenggarakan sebagai pengukuhan adanya perdamaian antara Terdakwa dengan Korban,” ujarnya.
Terdakwa yang merupakan seorang Sekretaris Desa (Sekdes) memohon maaf kepada korban atas kesalahannya, dan berjanji akan melindungi Korban seperti orang tuanya sendiri. Sebaliknya Korban yang merupakan Pendamping Desa dari Kecamatan juga akan membimbing Terdakwa seperti anaknya sendiri.
“Melalui Pesijeuk ini dendam antara kedua belah pihak menjadi sirna, jalinan persaudaraan yang sudah terputus tersambung kembali, dan memulihkan kerugian yang diderita korban dan masyarakat,” ucapnya.
“Perdamaian ini dapat tercapai berkat pertolongan Allah SWT yang melembutkan hati kedua belah pihak,” sambungnya.
Majelis Hakim dengan dibantu oleh Penuntut Umum dan Penasihat Hukum Terdakwa hanya mempertemukan kepentingan kedua belah pihak agar ke depannya dapat hidup dengan harmonis. Apalagi Terdakwa dan Korban merupakan unsur pemerintahan Gampong yang harus bahu membahu dalam melayani masyarakat setempat.
“Pada persidangan sebelumnya Majelis Hakim meminta Terdakwa dan Korban untuk menyampaikan apa yang menjadi keinginannya masing-masing, supaya permasalahan antara Terdakwa dengan Korban dapat selesai dengan tuntas tanpa menyisahkan dendam,” tuturnya.
Terdakwa menyatakan dirinya sangat ingin berdamai dengan Korban, hanya saja persyaratan sangat berat. Korban meminta Terdakwa untuk memuat permintaan maaf dan pengakuan bersalahnya di dalam media masa berskala nasional.
Menanggapi hal itu Korban menyatakan bahwa syarat tersebut diajukan karena Terdakwa sesumbar dapat memenuhi apa saja yang dimintakan korban.
Majelis Hakim kemudian menjelaskan bahwa permasalahan antara Korban dengan Terdakwa ini bukanlah permasalahan berskala nasional, melainkan hanya berskala lokal tepatnya di Desa Keude Alue Rheung, Kecamatan Peudada, sehingga apabila Korban tetap menginginkan permintaan maaf Terdakwa dimuat di media massa maka yang lebih pas adalah media massa lokal, bukan media massa nasional, berdasarkan rilis yang diterima Tim Dandapala.
“Korban lalu mengganti persyaratannya dengan meminta seekor Lembu, sesuai dengan apa yang diucapkan Terdakwa di kantor Polisi sebelumnya,” kisahnya.
Terhadap hal itu Terdakwa menyatakan tidak dapat menyanggupinya sembari menjelaskan bahwa ucapannya di kantor kepolisian tersebut hanyalah sesumbar belaka. Terdakwa kemudian menyatakan hanya sanggup untuk menebus kesalahannya dengan seekor Kambing atau uang sejumlah Rp 2 juta.
“Hal mana tawaran Terdakwa tersebut ditolak oleh Korban,” jelasnya.
Dalam persidangan tersebut Majelis Hakim kemudian menanyakan kepada Korban mengenai hal apa saja selain permintaanya tersebut yang dapat memulihkan rasa sakit hati dan kerugian yang dideritanya.
Korban lalu menjawab bahwa sebenarnya dirinya tidak menginginkan uang dari Terdakwa, melainkan hanya menginginkan permintaan maaf dengan tulus dan mengumumkannya di Facebook, sebab Terdakwa pernah memfitnah korban di Facebook. Selain itu Korban meminta Terdakwa memberikan uang yang disanggupinya untuk diberikan kepada Korban sejumlah Rp 2 juta tersebut untuk diberikan ke Masjid di Gampong setempat.
Terhadap syarat yang dikemukan Terdakwa tersebut Majelis Hakim menanyakan kesediaan Terdakwa untuk melakukannya. Terdakwa menjawab bahwa dirinya bersedia untuk melakukannya.
Selanjutnya Majelis Hakim menanyakan tentang kesediaan Terdakwa untuk mengumumkan permintaan maafnya di hadapan Jemaah Sholat, memajang permintaan maafnya secara tertulis kantor Keuchik dan Kantor Camat, serta memberi makan anak Yatim dengan alasan perbuatan Terdakwa bukan hanya merugikan Korban tetapi juga telah merusak keharmonisan di masyarakat. Atas pertanyaan Majelis Hakim tersebut Terdakwa mengatakan bahwa dirinya sanggup untuk melakukannya.
“Terdakwa kemudian menunaikan apa yang telah disepakatinya dan memberikan bukti-buktinya kepada Hakim, sehingga prosesi adat pesijeuk ini dapat dilakukan,” katanya.
Sebelum menutup persidangan Majelis Hakim menyampaikan bahwa perdamaian antara Terdakwa dengan Korban ini merupakan perwujudan dari restorative justice (keadilan restorasi) yang mengedepankan pemulihan dan keharmonisan di masyarakat ketimbang pembalasan sebagaimana tercantum pada Perma Nomor 1 Tahun 2024 Tentang Pedoman Mengadili Perkara Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif.
“Dan oleh sebab itu Majelis Hakim akan menjadikan perdamaian ini sebagai faktor yang sangat menentukan dalam menjatuhkan putusan,” pungkas rilis tersebut.