“Namun, belum sampai waktu berhaji tiba, istri saya malah meninggalkan saya selama-lamanya,” matanya berkaca-kaca, menahan tetes air mata kedua.
Meski didorong dengan kursi roda, Mbah Bardan optimis bahwa kondisinya baik-baik saja. “Saya bisa jalan sendiri,” katanya sambil berupaya berdiri namun urung, karena dicegah petugas.
Lelaki 92 tahun itu lalu melanjutkan ceritanya, mengungkap rasa cinta tak terkira pada sang belahan jiwa. “Ya sayang buanget, saya sudah siapkan tempat peristirahatan terakhir nanti bersebelahan sama saya,” kata lelaki kelahiran Jogjakarta tersebut.
Bila pepatah bilang, cinta ada karena biasa. Begitu pula Mbah Bardan dengan kisahnya. “Awal mula saya kenal istri saya, karena dulu suka ngaji bersama, eh lha kok jadi saling cinta,” tuturnya.
Petugas haji tampak tersenyum mendengar kisah Mbah Bardan. Ada perasaan tak nyaman yang menyesakkan dada. Ini bukan kisah Adam dan Hawa, bukan pula Habibi dan Ainun. Tapi, kisah Mbah Bardan yang senantiasa setia berharap supaya dapat sesurga berdua dengan istri tercinta.
“Gapapa, saya sudah sampai sini, saya doakan istri masuk surga, saya dan dia bisa bersama di surga.” pungkasnya.(*)