Menko Polhukam: Korupsi Meluas, Harus Ada Kesadaran Kolektif

lensareportase.com, Pada era pasca reformasi sekarang ini, korupsi sangat meluas dan perguruan tinggi menjadi salah satu terdakwa utamanya. Sebab para koruptor itu umumnya adalah lulusan perguruan tinggi. Karena itu, rektor di perguruan tinggi, harus memperhatikan ini. Demikian disampikan Menko Polhukam Moh. Mahfud MD saat memberi sambutan pada pelantikan Dr. Makmun Murad sebagai Rektor Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), Selasa (25/5/21).

Mahfud menjelaskan bahwa pada tahun 2017, pihaknya sudah mengatakan bahwa korupsi era reformasi ini lebih meluas dari era Orde Baru. Zaman Orde Baru terjadi korupsi besar-besaran, tapi terkonsentasi dan diatur melalui jaringan korporatisme oleh pemerintahan Soeharto.

“Korupsinya dulu dimonopoli di pucuk eksekutif dan dilakukan setelah APBN ditetapkan. Ini tak bisa dibantah, buktinya Orde Baru direformasi dan pemerintahan Soeharto secara resmi disebut pemerintahan KKN. Penyebutan itu ada di Tap MPR, UU, kampanye politisi, pengamat, disertasi, tesis, dan sebagainya,” lanjut Mahfud.

Namun harus diakui lanjut Mahfud, setelah reformasi, korupsi makin meluas. Sekarang ini, atas nama demokrasi yang diselewengkan, korupsi tidak lagi dilakukan di pucuk eksekutif tetapi sudah meluas secara horizontal ke oknum-oknum legislatif, yudikatif, auditif dan secara vertikal dari Pusat sampai ke Daerah-daerah.

“Lihat saja para koruptor yang menghuni penjara sekarang, datang dari semua lini horizontal maupun vertikal,” ujar guru besar hukum Universitas Islam Indonesia itu.

“Kalau dulu korupsi dilakukan setelah APBN ditetapkan atas usulan Pemerintah, sekarang ini sebelum APBN dan APBD jadi sudah ada nego-nego proyek untuk APBN dan APBD” lanjut Mahfud. Menteri Pertahanan era Gus Dur ini menengarai, banyak yang masuk penjara karena jual beli APBN dan Perda. “Saya bisa menunjuk bukti dari koruptor yang dipenjara saja,” tegasnya.
Semua itu dilakukan atas nama demokrasi dan Pemerintah tidak mudah untuk menindak karena di dalam demokrasi, Pemerintah tidak bisa lagi mengonsentrasikan tindakan dan kebijakan di luar wewenangnya. Itulah sebabnya, Mahfud mengaku paham dengan istilah “demokrasi kriminal” yang pernah dilontarkan oleh Rizal Ramli.

Baca Juga :  Hati-Hati Nitrogren Cair Pada Ciki Ngebul, Ini Bahayanya

“Situasi ini perlu kesadaran moral secara kolektif, sebab tak satu institusi pun yang bisa menembus barikade demokrasi yang wewenangnya sudah dijatah oleh konstitusi,” tegas Menko Polhukam Mahfud MD.

Kunci penyelesaian menurutnya tak cukup hanya dengan aturan-aturan atau jabatan, sebab aturan dan jabatan dibuat melalui apa yang diasumsikan sebagai keharusan demokrasi. “Jika para aktor demokrasinya bermoral bobrok maka produk hukum dan pelaksanaannya pun akan bobrok. Hukum itu kan sangat ditentukan oleh moral para aktornya. Itulah tugas kita ke depan,” ujarnya.

Jadi demokrasi tetap yang terbaik tapi perlu ditata ulang dengan keluhuran moral para aktornya agar yang tumbun adalah demokrasi substansial, bukan demokrasi kriminal. “Ada dalil yang menyatakan bahwa dalam arti tertentu hukum adalah produk politik, jika moralitas politik bagus maka hukum dan penegakannya akan bagus. Tapi jika moralitas politik jelek maka hukum dan penegakannya juga akan jelek” ujar Mahfud mengakhiri sambutannya di hadapan civitas akademika UMJ. (*)

Related posts