Menelisik Hak Nafkah Anak Setelah Perceraian

Jakarta, Senin 03 Mar 2025 – Perceraian tidak hanya mengakhiri hubungan perkawinan antara suami dan istri, tetapi juga membawa implikasi hukum yang signifikan, terutama dalam pemenuhan hak-hak anak yang lahir dari perkawinan tersebut. Salah satu permasalahan yang sering terjadi adalah kewajiban nafkah anak yang harus tetap dipenuhi oleh ayah pasca-perceraian.

Sayangnya, dalam praktiknya banyak mantan suami yang mengabaikan kewajiban ini, sehingga ibu atau wali anak terpaksa mengajukan gugatan nafkah anak di Pengadilan Negeri untuk memastikan hak anak tetap terpenuhi.

Konstitusi dan berbagai peraturan nasional telah menegaskan hak-hak anak untuk mendapatkan perlindungan, pendidikan, dan pemenuhan kebutuhan hidup.

Undang-Undang Dasar 1945 dalam Pasal 28B ayat (2) menyatakan bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Selain itu, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014, menegaskan dalam Pasal 26 ayat (1) bahwa orang tua tetap bertanggung jawab terhadap pemeliharaan, pendidikan, dan kesejahteraan anak meskipun telah bercerai. Bahkan, dalam Konvensi Hak Anak yang telah diratifikasi Indonesia, disebutkan bahwa setiap anak berhak atas standar kehidupan yang layak, termasuk makanan, tempat tinggal, serta pendidikan yang memadai meskipun orangtuanya bercerai.

Kewajiban orang tua untuk (ayah) tetap memberikan nafkah kepada anak pasca perceraian juga ditegaskan dalam Pasal 41 huruf (b) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang menyatakan bahwa ayah tetap berkewajiban menanggung pemeliharaan dan pendidikan anak sesuai dengan kemampuannya. Sementara itu, Pasal 321 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) memperkuat bahwa orang tua, meskipun telah bercerai, tetap wajib memberikan nafkah kepada anak-anaknya. Jika kewajiban ini tidak dipenuhi, ibu atau wali anak dapat mengajukan gugatan di Pengadilan Negeri agar hak anak tetap terlindungi.

Baca Juga :  Panglima TNI Terima Kunjungan Kehormatan Panglima Armada Pasifik AS Bahas Peningkatan Kerjasama Militer

Dalam konteks hukum acara, gugatan nafkah anak dapat diajukan baik bersamaan dengan gugatan perceraian maupun sebagai gugatan terpisah jika perceraian telah diputus tetapi ayah tidak menjalankan kewajibannya.

Meskipun tidak ada aturan tegas mengenai waktu pengajuan gugatan nafkah anak, yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 1020/K/Pdt/1986 tanggal 29 September 1987 menyatakan bahwa tuntutan biaya nafkah harus diajukan secara tersendiri, dan tidak dapat digabung dengan gugatan perceraian.

Proses pengajuan gugatan nafkah anak dimulai dengan mendaftarkan gugatan di Pengadilan Negeri yang berwenang, dengan menyertakan dokumen pendukung seperti salinan putusan cerai, akta kelahiran anak, dan bukti pengeluaran biaya hidup anak maupun bukti penghasilan ayah.

Setelah itu, pengadilan akan melakukan pemanggilan para pihak, yang kemudian dilanjutkan dengan proses mediasi sesuai dengan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 2016. Jika mediasi gagal, persidangan dilanjutkan dengan pemeriksaan bukti dan saksi untuk menentukan besaran nafkah yang harus dibayar oleh ayah sesuai dengan kemampuannya.

Jika ayah tidak mematuhi putusan secara sukarela, pengadilan dapat melakukan eksekusi berdasarkan permohonan ibu atau wali anak dengan menyita aset atau memerintahkan pemotongan gaji.

Bagi ayah yang berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS), terdapat mekanisme khusus untuk menjamin pembayaran nafkah anak pasca perceraian. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 menyatakan bahwa seorang PNS pria yang bercerai wajib menyerahkan 1/3 dari gajinya kepada mantan istri dan anaknya.

Demikian pula, aturan serupa berlaku bagi anggota Polri dan TNI melalui Peraturan Kapolri Nomor 9 Tahun 2010 dan Peraturan Menteri Pertahanan Nomor 31 Tahun 2017. Dalam Permenpan Nomor 54 Tahun 2018 mewajibkan pranata keuangan (bendahara) melakukan pemotongan hak keuangan PNS yang bercerai supaya terpenuhinya kewajiban nafkah anak sesuai putusan Pengadilan.

Baca Juga :  Jokowi Minta ASEAN Tangani Masalah Muslim Rohingya di Rakhine State

Beberapa contoh Putusan Pengadilan Negeri yang mengabulkan nafkah anak dengan pertiimbangan Majelis Hakim sebagai berikut:

1. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 219/Pdt.G/2013/PN Jkt-Sel, dalam amar Putusan, Majelis Hakim menghukum Tergugat untuk membayar biaya nafkah anak-anak, biaya pendidikan, kesehatan secara terus menertus kepada anak-anaka sebesar lima juta rupiah secara tunai setiap bulannya melalui Penggugat setiap tanggal 01 terhitung sejak putusan ini berkekuatan hukum tetap samapai anak tersebut dewasa dan telah menyelesaikan pendidikan setinggi-tingginya setingkat Universitas.

Adapun pertimbangan Majelis Hakim dalam menentukan besaran biaya nafkah anak dalam perkara dari tuntutan Penggugat sebesar sepuluh juta rupiah menjadi lima juta rupiah ini menyesuaikan dengan penghasilan Tergugat dengan mempertimbangkan kepantasan dan rasa keadilan berdasarkan bukti-bukti surat yang dihadirkan Tergugat seperti Fotocopi slip gaji, Fotokopi harta benda milik Tergugat maupun kewajiban pinjaman Bank yang ditanggung oleh Tergugat.

2. Putusan Pengadilan Negeri Putussibau Nomor 4/Pdt.G/2021/PN Pts, dalam amar Putusan, Majelis Hakim memerintahkan kepada Tergugat melalui bendahara kantor Tergugat bekerja untuk melakukan pembagian besaran gaji Tergugat pada setiap bulannya kepada Penggugat sebesar 1/3 (sepertiga) besaran gaji pada tiap bulannya dan anak-anak hasil pernikahan Penggugat dan Tergugat sebesar 1/3 (sepertiga) besaran gaji pada tiap bulannya.

Adapun pertimbangan Majelis Hakim berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 yang berlaku pemotongan 1/3 (sepertiga) bagian penghasilan PNS yang bercerai oleh bendahara untuk diberikan sebagai nafkah anak.

Meskipun berbagai regulasi telah mengatur dengan jelas kewajiban nafkah anak, dalam praktik masih terdapat kendala seperti ketidakpatuhan mantan suami terhadap putusan pengadilan, kesulitan eksekusi bagi ayah yang bekerja di sektor informal dan penghasilan tetap yang tidak mudah untuk ditelusuri, serta kurangnya kesadaran hukum di masyarakat untuk memperjuankan hak nafkah anak melalui jalur hukum.

Baca Juga :  Bukti Kemanunggalan TNI dengan Rakyat, Kodim 1510/Sula Gelar TMMD Ke-23 Ta 2025

Oleh karena itu, perlu adanya perbaikan kebijakan, termasuk penerapan sanksi pidana bagi ayah yang lalai membayar nafkah, seperti yang diatur dalam Pasal 77 Undang-Undang Perlindungan Anak dan Pasal 49 Huruf a Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang mengancam pidana bagi pelaku penelantaran anak.

Sebagai langkah lanjutan, pemerintah perlu memperkuat mekanisme pemotongan gaji bagi PNS yang bercerai oleh bendahara, mengoptimalkan prosedur persidangan dengan memanfaatkan teknologi digital (E-Litigasi, Mediasi Online, pemeriksaan Saksi secara online dsb), serta meningkatkan edukasi hukum bagi masyarakat agar para ibu dan wali anak lebih memahami hak mereka dalam menuntut nafkah anak. Dapat juga dirumuskan bentuk sanksi pemblokiran layanan publik, kependudukan dan perbankan sebagaimana pendapat Prof. Amran Suadi.

Dengan berbagai perbaikan ini, diharapkan hak-hak anak tetap terlindungi dan pemenuhan nafkah anak pasca perceraian dapat lebih efektif ditegakkan sesuai dengan amanat konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan menjunjung prinsip keadilan.

Related posts