lensareportase.com, JAKARTA – “Mau Kaya? Selamatkan Hutan!” Ini menggenapi tagline sang “jenderal pohon” sebelumnya, : “Kita Jaga Alam, Alam Jaga Kita”.
Doni Monardo melemparkan tagline itu saat rapat “Dialog Pemulihan Ekosistem Hutan Aceh” bersama Forkopimda Nanggroe Aceh Darussalam, di Gedung PPAD, Matraman, Jakarta Pusat, 26 Juli 2022.
Sebelum Doni berbicara, Mayjen TNI Purn Wiyarto selaku Kabid Ekonomi PPAD meminta pengarahan dari Wali Nanggroe Aceh Darussalam, Malik Mahmud Al Haythar. Ia juga biasa disebut Paduka Yang Mulia Al Mukarram Maulana Al Mudabbir Al Malik.
Hadir dalam kesempatan itu antara lain Pangdam Iskandar Muda, Kesbangpol Prov Aceh, para bupati dan pejabat bupati dari Aceh Tamiang, Aceh Timur, Aceh Utara, Bener Meriah, Gayo Lues, Aceh Tenggara, asosiasi pengusaha hutan Indonesia, PT Saman Seudati Lestari, Forum Konservasi Leuser, Yayasan HaKa, para kepala dinas, dan lain-lain. Pendek kalimat, semua pemangku kepentingan terhadap hutan yang ada di bumi Serambi Mekah.
Pria 83 tahun itu pertama-tama mengaku senang dan bersemangat, karena bisa hadir bersama para pejuang kelestarian hutan di Aceh untuk menyelamatkan flora dan fauna. Baginya, melestarikan hutan adalah bagian tak terpisahkan dari perjuangan hidupnya sejak muda.
“Tidak saja di Aceh, tetapi juga di Kalimantan. Kebakaran hutan bahkan merusak hutan seluas negara Taiwan. Luar biasa parah,” ujar Wali Nanggroe.
Padahal, Aceh sejak dahulu kala memiliki kearifan lokal dalam menjaga lingkungan. Karena itulah, di sana ada semacam juru pertanian yang mengurusi pertanian, ada panglima laut yang mengawal lautan Aceh, ada panglima hutan, dan sebagainya. “Yang menjadi panglima hutan atau pawang hutan, biasanya punya ilmu batin sehingga bisa menjinakkan harimau dan satwa liar,” kata Malik Mahmud.
Pelan-pelan, nilai-nilai kearifan lokal di Aceh mulai terkikis. “Tugas saya sebagai Wali Nanggroe Aceh. Antara lain menghidupkan kembali nilai-nilai kearifan lokal Aceh. Termasuk mengembalikan hutan seisinya. Bapak dan ibu sekalian menjadi teman seperjuangan saya untuk misi itu,” tambahnya.
Leuser misalnya, adalah salah satu Kawasan hutan di Tanah Air yang kondisinya relatif terjaga. Bahkan ketika akhirnya Belanda berhasil menguasai Aceh pada 1815.
Sedikit mengilas sejarah. Untuk menundukkan Aceh, Belanda memakai tenaga ahli Dr. Christiaan Snouck Hurgronje yang menyamar selama dua tahun di pedalaman Aceh, meneliti kemasyarakatan dan ketatanegaraan Aceh.
Usulan strategi Snouck Hurgronje kepada Gubernur Militer Belanda Joannes Benedictus van Heutsz adalah, mengesampingkan golongan Keumala (yaitu Sultan yang berkedudukan di Keumala). Yang harus diserang adalah kaum ulama. Di samping itu, Belanda harus menunjukkan niat baik kepada rakyat Aceh, dengan cara mendirikan langgar, masjid, memperbaiki jalan, dan saluran irigasi. “Dan yang penting, komitmen Belanda untuk menjaga hutan Aceh,” papar Wali Nanggroe Aceh.
Dengan kata lain, komitmen menjaga hutan Aceh, bukan saja merupakan kearifan lokal, melainkan distempel kuat oleh pemerintah penjajah. Dan itu mengakar.
Dalam perjalanannya, perusakan alam terjadi. Ia melihat ada illegal logging, pembunuhan satwa, dan perusakan ekosistem. “Ini karena masyarakat tidak paham pentingnya ekosistem, dan dipengaruhi orang luar yang berani membeli mahal taring gajah, kulit harimau, dan sebagainya,” tambahnya.
Beberarpa kali terjadi gajah masuk permukiman warga. “Yang salah bukan gajahnya, tapi karena ekosistemnya dirusak. Satwa di hutan itu punya pola kehidupannya sendiri. Mereka dalam mencari makan mengitari hutan belantara. Yang membuka jalan adalah kawanan gajah. Lalu jejak-jejaknya diikuti satwa-satwa lain. Mereka berputar. Ketika hutan dirusak, ada jalur yang putus. Kawanan gajah pun menjadi bingung. Dampaknya merusak lahan perkebunan masyarakat,” papar Malik.
Menurut Wali Nanggroe, kita tidak punya pilihan lain kecuali menyelamatkan hutan Aceh. Terlebih, hutan-hutan di pulau lain terus dibabat. Bukan hanya itu, beberapa negara juga sudah mulai kehilangan hutannya. Misalnya Thailand dan Malaysia. Bahkan saat ini, di Myanmar juga tengah terjadi pembabatan hutan besar-besaran.
Di mata Malik, kawasan hutan Aceh mulai “terluka”. “Kalau saya terbang, dari atas pesawat melihat hutan Aceh sangat hijau. Tapi di beberapa bagian saya melihat warna merah, seperti luka. Itulah hutan yang sudah dibalak secara liar. Tugas kita bersama untuk mengobati luka hutan Aceh dengan penghijauan kembali,” tambahnya.
Paradigma Ingin Kaya
Berbicara setelah Wali Nanggroe, Ketua Umum PPAD, Letjen TNI Purn DR HC Doni Monardo mengawali dengan kisah hidupnya 12 tahun di Tanah Rencong. “Saya kecil dan dibesarkan di Aceh, mulai dari Meulaboh, Lhok Seumawe hingga Banda Aceh,” ujar Doni.
“Semua komponen bangsa harus terlibat. Karenanya mohon Bapak Pangdam menjadi bagian dari kita. Undang Undang Dasar kita mengamanatkan bahwa negara harus melindungi segenap tumpah darah, termasuk di dalamnya alam, flora dan fauna,” ujar Doni.
“Bersama ini saya sampaikan sebuah paradigma baru. Dulu, kita kenal kalimat, kalau ingin kaya, tebang hutan, jual kayu. Sekarang itu adalah paradigma kuno. Paradigma usang. Harus diubah menjadi paradigma baru: Kalau mau kaya, selamatkan hutan, tanam pohon,” ujar Doni Monardo.
Doni mencanangkan paradigma itu mulai dari ujung barat Indonesia, Aceh. “Sekali lagi, paradigma ke depan adalah, kalau mau kaya, selamatkan hutan. Kita akan mulai dengan kampanye dan sosialisasi. Orang bisa sejahtera dengan melindungi hutan, flora, dan fauna. Tidak ada pilihan lain, bangsa kita harus kerja keras menyelamatkan sisa hutan,” tegas Kepala BNPB 2019 – 2021.
Bagaimana penjelasan lebih lanjut dari paradigma baru yang dilempar Doni Monardo?
Jawabnya adalah “bisnis karbon”. Nilai ekonomi dari kompensasi karbon tadi bisa mencapai Rp 7 triliun. Untuk itu, katanya, kawasan hutan yang sudah dialih-fungsikan harus dipulihkan.
Khusus Aceh, untuk mendongkrak kesejahteran rakyatnya, adalah dengan cara menyelamatkan hutan. Apalagi, arahnya, kebijakan dana Otsus Aceh setiap tahun nilainya akan dikurangi, menuju ke arah kemandirian APBD.
Doni minta Dinas Lingkungan Hidup memikirkan strategi ke depan. Doni juga mengajak Dinas LH menghadap Menteri KLH bersama Wali Nanggroe dan Gubernur. “Kita melaporkan kesiapan acara penyelamatan hutan Aceh pada bulan Oktober yang akan datang,” ujar Doni.
Ditekankan, Wali Nangroe adalah simbol kekuatan moral untuk melindungi hutan Aceh. Karena itu, Wali Nanggroe menjadi ujung tombak. “Bapak Wali Nanggroe mohon berkenan mulai pendekatan ke tokoh agama, tokoh masyarakat, budayawan dan elemen-elemen masyarakat lain, tentang pentingnya menyelamatkan hutan,” pinta Doni kepada Wali Nanggroe Aceh.
Hutan Aceh, terbilang satu-satunya hutan dengan satwa terlengkap. Empat satwa yang dilindungi, ada di sana: badak, harimau, gajah, dan orangutan. “Banyak yang tidak tahu bahwa di Aceh masih ada badak. Bahkan ketika diberi informasi masih ada badak di hutan Aceh, sebagian orang bahkan tidak percaya. Badak Aceh bisa dijumpai kawasan Aceh Barat Daya dan Aceh Selatan, berbatasan dengan Tapak Tuan,” ujar Doni.
Menanggapi “hutan yang terluka”, Doni membenarkan. “Saya mantan Kepala BNPB, jadi sudah melihat langsung kerusakan hutan Aceh makin hari makin memprihatinkan. Setiap tahun selalu terjadi bencana banjir dan longsor, utamanya di pesisir timur Tamiang sampai Pidie. Termasuk Aceh Selatan sampai Utara, mulai dari Singkil, Lhok Kawasan, dan Lhoh, Aceh Barat,” papar Doni Monardo.
Jejak Doni
Sementara itu, Pangdam Iskandar Muda, Mayjen TNI Mohamad Hasan ketika menyampaikan pandangannya mengatakan, senang dengan program ini, karena concern terhadap pelestaian alam. “Saya mengikuti jejak Pak Doni, bagaimana mengelola hutan sebaik-baiknya untuk kesejahteraan rakyat,” ujar mantan Danjen Kopassus lulusan Akmil 1993 itu.
Ihwal badak di Aceh, Mohamad Hasan juga termasuk yang terperangah. “Saya dua tahun menjadi Dandim di Aceh, dengan 32 koramil. Saya sudah masuk ke semua teritori Koramil, dan belum pernah nemu badak. Saya terima kasih atas informasinya,” ujar mantan Dan Grup A Paspampres itu.
Secara berkelakar Hasan menambahkan bahwa intel pecinta alam ternyata lebih hebat. “Intel saya saja belum nemu badak,” ujarnya tersenyum.
Pihaknya akan mendukung program penyelamatan hutan Aceh. Kodam Iskandar Muda berada di belakang program ini. “Kepada para Danrem dan Dandim selalu saya tekankan agar melestarikan alam sebaik-baiknya, termasuk di dalamnya menjaga hutan dan sungai-sungai. Semua itu adalah lansekap infrastruktur alam. Tidak boleh rusak. Kalau rusak, akan datang bencana,” tegasnya.
Prinsipnya, kata Hasan, kita tidak boleh mengambil profit dari alam, dalam hal ini hutan. Akan tetapi, dalam hal “bisnis karbon”, kita mengambil benefit dari situasi global. “Silakan sampaikan ke kami, apa yang perlu kami siapkan,” ujar Hasan, simpatik.
Tentang Karbon
Bisnis karbon, masih terbilang awam, bagi sebagian orang. Bahkan ada yang menganggap, karbon yang dimaksud adalah kertas bertinta untuk menggandakan hasil pengetikan manual. Bukan, perdagangan karbon (carbon trading) yang dimaksud adalah perdagangan antar negara yang dirancang untuk mengurangi emisi karbon dioksida/polusi/polutan. Carbon Trading juga dikenal dengan sebutan Carbon Emissions Trading, atau perdagangan emisi karbon.
Emisi karbon sendiri merupakan suatu bentuk perdagangan emisi yang secara khusus menargetkan karbon dioksida (dihitung dalam satuan ton setara karbon dioksida atau (CO 2 ) dan saat ini menjadi perdagangan emisi terbesar. Itu pula yang mendasari penyebutan angka Rp 7 triliun oleh Doni Monardo, sebagai potensi benefit yang bisa didapat dari perdangan karbon hutan Aceh. (*)