Masyarakat Mendorong KLHK Lakukan Gugatan Kepailitan Kepada Pengemplang Kewajiban

lensareportase.com, Masyarakat Mendorong Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Lakukan Gugatan Kepailitan Kepada Pengemplang Kewajiban atas Kebakaran Hutan dan Lahan (Karhutla).

Piutang Penerimaan Negara Bukan Pajak Penggunaan Kawasan Hutan (PNBP-PKH) saat ini adalah sebesar Rp2,6 triliun dari 341 wajib bayar sesuai dengan Surat Keputusan (SK), kata Pelaksana tugas Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan (Dirjen PKTL) pada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Bapak Ruandha Agung Sugardiman dalam Rapat Dengar Pendapat Panitia Kerja Mengenai Penggunaan, Pelepasan dan Perusakan Kawasan Hutan Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) di Jakarta beberapa waktu lalu.

Dari jumlah tersebut, sekitar Rp1,6 triliun dalam penanganan satuan kerja KLHK dan Rp997 miliar ditangani oleh Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL).(27/09/2022)

Sampai saat ini belum mendapatkan progres yang signefikan, karena kewajiban-kewajiban lain seperti Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH), Program Pengembangan Kawasan Hijau (P2KH), lahan konpensasi dan gugatan-gugatan dari KLHK terkait kebakaran hutan ataupun limbah yang sudah inkracht belum bisa disetor ke Negara ataupun KLHK. Kondisi tersebut sangat mengusik rasa keadilan masyarakat yang menginginkan kepastian hukum, apalagi dampak dari kebakaran hutan dan lahan (karhutla) telah menimbulkan banyak bencana yang sering kita dengar ataupun kita rasakan secara langsung seperti pemanasan global (perubahan iklim) pencemaran dan kebencanaan lainnya.
Presiden Jokowi sudah sering berbicara baik forum nasional ataupun forum dunia seperti G20, COP26 dan lainya begitupun setiap gelaran rapat komisi IV DPR RI dengan KLHK dan Ibu Siti Nurbaya pun sebagai menteri LHK sudah dengan tegas dan jelas untuk dapat mempertahankan luasan hutan dengan 3 mekanismenya seperti In-out, Penanganan Konflik dan Pemanfaatan yang berbasis Lingkungan, dalam hal ini sudah sangat memberikan pencerahan dalam menjaga keseimbangan hutan yang ada tanpa menolak investasi.

Kasus pengemplang kewajiban atas karhutla sangatlah menyita waktu karena tak kunjung usai sehingga menimbulkan kerugian bagi negara dibidang lingkungan hidup atau keberlangsungan hidup umat manusia, oleh karenanya perlu ketegasan dan terobosan hukum dari kasus keperdataan ini, apalagi kasus-kasus lingkungan ini sudah menjadi perhatian dunia dan menjadi komitmen Indonesia untuk menjaga dan berpartisipasi dalam isu pemanasan global seperti pidato Presiden Jokowi di Glasgow dalam gelaran COP26 dan Statement Ibu Siti Nurbaya dalam rapat dengan Komisi IV DPR RI yang mana ia mengatakan bahwa pemerintah akan mempertahankan sebisa mungkin lahan hutan tidak berkurang.

Baca Juga :  Wamen Budi Arie Harap Perusahaan Pertambangan Gencarkan Program Pemberdayaan Masyarakat

Menurut praktisi hukum ligkungan hidup, Dede Nurdin Sadat, S.H., M.H., mengatakan bahwa “menanngapi permasalahan hukum ini, perlu mengambil langkah yang tepat dan akurat serta efisien dalam rangka proses mengembalikan kerugian negara ataupun pemenuhan kewajiban serta komitmen perusahaan akibat pengemplangan kewajiban, yaitu mengajukan permohonan pailit terhadap perusahaan yang tidak membayar kewajibannya atas karhutla tersebut”.

Menurutnya, kepailitan adalah suatu putusan pengadilan niaga yang mengakibatkan terjadinya sita umum atas seluruh harta kekayaan debitor pailit atau pengemplang kewajiban atas karhutla yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas yang ditunjuk oleh pengadilan niaga. Apabila pengemplang kewajiban atas karhutla telah dinyatakan pailit maka pengurus perusahaan pengemplang kewajiban atas karhutla tersebut secara hukum dinyatakan tidak berwenang lagi mengurus perusahaan. Seluruh harta perusahaan akan dilelang dan kemudian hasil lelang digunakan untuk membayar seluruh kewajiban-kewajiban kepada kreditur-krediturnya.

Kepailitan itu bukan masuk ranah hukum pidana maupun hukum administrasi negara, melainkan merupakan wilayah bidang keperdataan. Karena masuk wilayah keperdataan, tujuan akhir proses tersebut berkaitan dengan pemenuhan kewajiban dan tidak terkait kepidanaan, seperti kurungan atau penjara. Hal itu sangat tepat jika tujuan proses hukum ialah pemenuhan atas kewajiban. Sebab, jika dengan instrumen pidana maupun administrasi negara, pemenuhan kewajiban tidak akan diperoleh.

Konsep dan filosofi mempergunakan instrumen hukum kepailitan itu berangkat dari banyaknya pajak ataupun kewajiban yang tidak dipenuhi ke negara, sementara perusahaannya terus menggurita. Dan, ironis lagi, perusahaan tersebut menggurita dengan mengeksploitasi habis-habisan sumber daya alam negeri ini. Perusahaan memiliki ratusan ribu hektare perkebunan sawit ataupun tambang sementara perusahaan menyedot triliunan rupiah hasil pertambangan dari bumi republik ini.

Baca Juga :  Indeks Kapabilitas Rehabilitasi Meningkat, Deputi Bidang Rehabilitasi BNN Gelar Seminar Hasil Pengukuran IKR

Legal Standing
Kemudian, siapa pihak yang bisa mengajukan permohonan (legal standing in judicio) pailit tersebut? Dede Nurdin Sadat, S.H., M.H. mengatakan bahwa setidaknya ada dua pihak yang memiliki legal standing dalam mengajukan permohonan pailit tersebut, yaitu KLHK atau Kejaksaan Agung sebagaimana dimaksud dalam ketentuan pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU KPKPU)

KLHK dapat mengajukan kepailitan karena bertindak selaku kreditor bagi perusahaan tersebut. Kreditor dalam rezim hukum kepailitan terdiri atas kreditor separatis, kreditor preferen, dan kreditor konkuren. Kewajiban dapat digolongkan sebagai kreditor preferen, bahkan kreditor preferen yang utama. Jadi, KLHK menggunakan dasar adanya Kewajiban yang tidak dipenuhi.
Kejaksaan Agung juga memiliki kewenangan mengajukan permohonan pailit dengan dasar demi kepentingan umum. Kewenangan institusi kejaksaan itu secara tegas diatribusikan oleh pasal 2 ayat (2) UU KPKPU.

Penagihan yang dikemplang termasuk kualifikasi demi kepentingan umum. Dalam UU KPKPU itu dikatakan bahwa yang dimaksud kepentingan umum adalah kepentingan bangsa dan negara dan/atau kepentingan luas. Misalnya, debitor melarikan diri, debitor menggelapkan bagian dari kekayaannya yang menghimpun dana dari masyarakat, debitor tidak beriktikad baik atau tidak koperatif dalam menyelesaikan kewajiban yang telah jatuh waktu, atau dalam hal yang lain menurut kejaksaan merupakan kepentingan umum.

Lebih Efektif
Menurut Dede Nurdin Sadat, S.H., M.H., berpendapat pula bahwa ada beberapa kelebihan menggunakan jalur kepailitan untuk mengembalikan uang negara dan menjalankan pemenuhan kewajiban jika dibandingkan dengan menggunakan jalur hukum pidana maupun jalur hukum administrasi negara. Pertama, prosedur kepailitan relatif lebih sederhana dan cepat. Merujuk pada UU KPKPU ditentukan bahwa proses kepailitan di tingkat pertama pengadilan niaga dibatasi waktunya maksimal 60 hari, demikian pula di tingkat kasasi dibatasi maksimal 60 hari sebagaimana dimaksud dalam ketentuan pasal 8 ayat (5) dan Pasal 13 ayat (3) UU KPKPU

Baca Juga :  Panglima TNI Hadiri Acara Peluncuran Govtech Indonesia di Istana Negara

Keuntungan kedua adalah proses yang lebih transparan. Hal itu terjadi karena seluruh pencairan harta pailit atau pemenuhan kewajiban akan dilakukan kurator di bawah hakim pengawas yang ditunjuk oleh pengadilan niaga. Kurator yang bisa menangani kepailitan tidak hanya Balai Harta Peninggalan (BHP), tetapi juga kurator swasta yang kebanyakan dari para advokat papan atas yang biasa menangani perkara hukum secara lebih profesional. Kurator itu nanti bertugas mencairkan harta pailit ataupun pemenuhan kewajiban melalui lelang umum dan hasil seluruh pencairan budel pailit akan didistribusikan kepada kreditornya guna pemenuhan kewajiban termasuk membayar ke negara karena utang pajak atau lainnya.

Pembiaran terhadap pengemplang kewajiban yang bernilai triliunan rupiah merupakan bentuk nyata dari sebuah pengkhianatan terhadap rasa keadilan masyarakat. Bagaimana keadilan rakyat tidak terluka, sementara hukum sedemikian tajam menghukum rakyat kecil, seperti Mbok Minah yang divonis karena dituduh mengambil tiga biji buah cokelat, Suryanto dihukum dengan dasar mencuri sebutir semangka, dan sementara konglomerat hitam yang mengemplang kewajiban triliunan rupiah dan merugikan masyarakat yang berakibat kebencanaan tidak dihukum apa-apa.

Hukum memang tidak memiliki mata. Tapi, hukum tidak akan pernah buta terhadap keadilan karena keadilan dapat terlihat meskipun dalam kegelapan. (the law is blind but can see in the dark; dark justice).

LimaPeta, KPI dan lainnya mendukung 3 mekanisme KLHK untuk mempertahankan eksisting hutan dan mendorong KLHK melakukan gugatan kepailitan kepada pengemplang kewajiban yang selain dapat merugikan keuangan negara dapat pula menimbulkan kebencanaan dan menimbulkan banyak korban jiwa dan materil masyarakat. (*)

Related posts