Oleh Zulfa Aulia Nurfaiza (Key Opinion Leader)
lensareportase.com, Suatu kebanggaan tersendiri bagi Zulfa Aulia Nurfaiza, dia didapuk sebagai key opinion leader dalam acara webinar Gerakan Nasional Literasi Digital Kabupaten Sumenep, Jawa Timur pada hari Selasa, 21 September 2021. Sebelum sesi sharing perihal literasi digital di era milenial, perkenankan saya untuk menyapa peserta webinar literasi digital yang sudah berkenan hadir meluangkan waktu untuk sama-sama belajar dan memahami bagaimana urgensi serta kondisi literasi digital kita saat ini.
Tak kenal maka tak sayang, seperti yang sudah sering pepatah katakan dan sering
pula kita dengar untuk memulai perkenalan. Nama lengkap saya
Zulfa Aulia Nurfaiza, biasa disapa Zulfa. Lahir di Mojokerto, 11 april 2000.
Usia 21 tahun dan berstatus sebagai mahasiswi Ilmu Sejarah,
Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Airlangga, Surabaya. Soal dunia perkuliahan
saya yang mungkin sering dianggap orang awam sebagai sebuah prodi/jurusan
yang anti mainstream karena “sepi peminat”, namun yang saya rasakan justru
sebaaliknya. Orang awam berasumsi demikian karena hanya melihat dari luaran
saja, mereka tidak masuk dan memahami bagaimana seorang sejarawan dibentuk.
Apalagi menyangkut sejarah bangsa yang jelas-jelas memiliki semboyan JAS
MERAH, Jangan sekali-kali melupakan sejarah karena bangsa yang besar, bangsa
yang hebat adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya. Salah satunya
dengan mempelajari dan menjadi bagian dari sejarah itu sendiri. Terlepas dari itu
semua, saya bangga dan bersyukur menjadi mahasiswa Ilmu Sejarah Universitas
Airlangga.
Beranjak dari latar belakang pendidikan saya, pertama-tama mari saya ajak
audience semua untuk lebih dalam lagi mengenal digital literasi dengan objek
saya sendiri sebagai key opinion leader pada webinar literasi digital nasional kali
ini. Sedikit menyinggung latar belakang saya sebagai mahasiswa Ilmu Sejarah,
yang terfikirkan di benak masyarakat awam pastilah seorang pelajar Ilmu Sejarah
berkewajiban atau bahkan “dituntut” untuk menghafal dan membaca segudang
buku bermuatan sejarah baik dalam negeri maupun luar negeri. Hal ini
mengingatkan saya pada salah satu tri dharma perguruan tinggi yakni penelitian.
Penelitian sejarah tentunya tidak berjalan begitu saja. Jika dihubungkan dengan
literasi digital, maka hal tersebut berkaitan erat dengan metode penyusunan
penelitian sejarah yang biasa kami sebut “heuristic”. Dari proses heuristic ini,
kami memanfaatkan sumber data sebanyak-banyaknya yang sudah tersedia pada situs-situs internet yang akan membantu kami melakukan penelitian sejarah.
Selain penelitian sejarah, urgensi atau peran dari literasi digital ini membantu
sejarah berkembang sebagai contoh dengan munculnya ragam karya infografis
kesejarahan, karya fiksi dengan bermuatan sejarah, entertain memanfaatkan narasi
sejarah, sampai aplikasi-aplikasi kesejarahan pun juga lahir seiring dengan
semakin optimalnya literasi digital saat ini. Literasi dengan konten sejarah
tersebut lah yang mengantarkan pesan kepada masyarakat luas sebagai pengingat
akan jati diri kebangsaan, menggali nila-niliai kepahlawanan, nilai-nilai identitas
kebudayaan dan juga keluhuran bangsa.
Saya tidak menyangka bahwasannya dari pendidikan yang sekarang sedang saya
geluti yakni Ilmu Sejarah dapat mengantarkan saya pada dua kemampuan yang ternyata setelah saya jalani, saya enjoy dengan dunia saya ini. Pertama, saya
menjadi senang menulis dan mengungkapkan ide-ide sederhana yang saya miliki.
Saya tuangkan ide-ide sederhana tersebut dalam beberapa artikel yang sudah
dipublikasikan oleh salah satu laman artikel lepas ykani Brilio.com. Bukan hal
yang mudah ketika saya pertama menceburkan diri dalam dunia kepenulian digital ini. Tentu tidak ada pencapaian yang instan. Artikel saya sempat beberapa kali
ditolak oleh pihak Brilio, tentu karena jumlah pelamar konten artikel sangat
banyak sehingga evaluasi atau kritik terhadap artikel saya hanya sedikit
ditunjukkan. Kemudian saya merasa tertantang dan terus menerus mencoba
mengirim artikel meskipun terkesan remeh yang saya tulis, namun rasa puas dan
lega ketika ada pembaca yang menikmati artikel yang saya tulis menjadi sebuah
hal yang tidak ternilai harganya. Senang, bahagia sekaligus terharu. Wah,
ternyata saya bisa menulis! Waktu demi waktu saya terus mengirimkan artikel
meskipun terhalang oleh mood yang naik turun, tapi saya usahakan selalu menulis
hal-hal kecil yang ada di sekitar saya. Sehingga apa yang saya tulis adalah apa
yang benar-benar saya inginkan untuk saya tulis. Tidak ada unsur keterpaksaan
sedikitpun. Saya menikmati tiap kali angka viewers atau readers semakin naik.
Hingga di suatu ketika, saya iseng menulis artikel tentang skincare dari bahan
dapur. Puji Syukur! Artikel saya tembus 3000 lebih readers sehingga sebagai
bentuk apresiasi, tim Brilio memberikan reward berupa sejumlah uang yang
ditransfer ke rekening saya. Hal itu membuat saya terpacu dan sampai sekarang saya masih mencari cara agar artikel saya menarik pembaca. Semoga!
Benang merah dari proses penciptaan artikel yang saya lewati, sejatinya kita tidak
bisa hidup tanpa terinspirasi dari orang di sekeliling kita. Pun demikian dengan
artikel yang saya tulis, menumbuhkan minat serta rasa keingintahuan seseorang
terhadap hakikat isi artikel yang terbit. Dari artikel yang sudah beberapa saya
tulis, pada tiap kalimat penutup saya tidak lupa menyampaikan semoga artikel ini
termanfaat. Dan pastilah menjadi sebuah doa baik bagi siapa saja yang mau mencari solusi melalui membaca terlebih sampai memahami teks yang berlalu-
lalang di layar gawai masing-masing.
Jalan kehidupan tak selalu mulus, pasti kita menemui jalanan berkerikil, berkelok,
pasang surut, dan lain sebagainya. Setelah saya merasakan bagaimana menjadi
seorang penulis lepas atau yang dalam istulah keren disebut freelancer writer,
saya melihat ada sebuah fenomena yang semakin digandrungi orang di era digital
sekaligus era pandemic yang entah sampai kapan akan berlangsung. Ingin
mengasah dan mengukur seberapa besar nyali saya untuk berbicara di depan
kamera, memahami apa yang ingin sampaikan dan yang paling utama apa yang
orang lain butuhkan terkait informasi, maka saya menceburkan diri dalam dunia
influencer marketing. Kurang lebih secara singkat kerap dijuluki sebagai ”tukang
endorse”. Sungguh bukan hal yang mudah, sama sulitnya dengan membuka hati
untuk orang baru, kali ini yang saya alami yakni membuka diri untuk mencoba hal
baru. Seiring dengan berjalannya waktu, tingkat kesulitan pada saat
mempromosikan sebuah produk saya alami.
Bekerja sesuai dengan kemauan klien, dan saya lagi-lagi dihadapkan pada proses pemahaman terhadap suatu pesan
perusahaan yang hendak disampaikan kepada calon customer melalui media sosial seperti Instagram dan Tiktok. Sebuah pekerjaan yang tidak bisa dan tidak boleh
dikerjakan secara asal-asalan, tentu kita sebagai influencer harus membawakan
dengan baik dan menarik. Kinerja kita diukur saat eksekusi produk di lapangan
dengan demikian, nama kita akan terangkat dan mendapatkan kepercayaan brand-
brand lain untuk mempercayakan digital marketing kepada kita.
Kedua contoh pengaplikasian literasi digital yang nyata saya alami di atas adalah
benar adanya. Hal tersebut ternyata sejalan dengan pendapat Paul Gilster,
mengenai Istilah literasi digital.Literasi digital dikemukakan pertama kali oleh
Paul Gilster (1997) sebagai kemampuan memahami dan menggunakan informasi
dari berbagai sumber digital. Ia mengemukakan bahwa literasi digital merupakan kemampuan menggunakan teknologi dan informasi dari piranti digital secara efektif dan efisien dalam berbagai konteks, seperti akademik, karier, dan
kehidupan sehari-hari.
Bagaimana? Apakah sinkron dengan kondisi yang kita alami sekarang pada era ini? Semoga sedikit pengalaman saya dapat sama-sama menjadi suatu pembelajaran dan pengingat akan pentingnya memahami literasi digital terlebih untuk generasi milenial yang sudah mahir mengoperasikan gawai atau smartphone. Jadilah smart-user dengan terus meningkatkan literasi digital!.(*)