Siapa Wali Hakim yang Berhak Menikahkan di Indonesia?

Ilustrasi Akad Nikah

Dalam prosesi akad nikah, kehadiran seorang wali sangat penting karena berperan sebagai pihak yang akan menikahkan pengantin wanita dengan calon suaminya. Biasanya, peran ini dijalankan oleh wali nasab, yaitu ayah, kakek, saudara laki-laki, atau urutan wali nikah sebagaimana tercantum dalam Peraturan Menteri Agama Nomor 30 Tahun 2024.

Namun dalam kondisi tertentu, yakni ketika wali nasab tidak ada atau tidak memenuhi syarat menjadi seorang wali, peran wali nasab akan beralih kepada wali hakim. Dalam hal ini, Rasulullah bersabda:

فَإِنَّ السُّلْطَانَ وَلِيُّ مَنْ لَا وَلِيَّ لَهُ

Artinya, “Sungguh penguasa adalah wali bagi perempuan yang tidak memiliki wali,” (HR. Ahmad).

Para ulama sepakat bahwa penguasa atau pihak yang mewakilinya memiliki kewenangan untuk menikahkan seorang wanita yang tidak memiliki wali nasab, entah karena walinya itu sudah meninggal dunia, tidak diketahui keberadaannya, non-muslim, atau seluruh walinya menolak tanpa alasan yang dibenarkan syariat.

Menurut Ibnu Qudamah, penguasa memiliki wewenang secara umum dalam mengatur kemaslahatan umat, termasuk di dalamnya adalah urusan pernikahan warganya. Hal ini sebagaimana penguasa yang punya kewenangan untuk mengelola harta dan melindungi hak orang-orang yang tidak mampu. Ia menjelaskan:

ولأنَّ للسُّلطانِ ولايةً عامّةً بدليلِ أنَّه يَلِى المالَ، ويَحْفَظُ الضَّوَالَّ، فكانت له الوِلايةُ فى النِّكاحِ كالأبِ

Artinya: “Dan karena penguasa memiliki kewenangan umum, berdasarkan dalil bahwa ia mengurus urusan harta dan menjaga barang-barang yang hilang, maka ia pun memiliki kewenangan dalam pernikahan sebagaimana seorang ayah.” (Ibnu Qudamah, Al-Mughni, [Riyad, Daru Alamil Kutub: 1997], juz IX, h.360-361)

Wali Hakim di Indonesia

Untuk konteks Indonesia, dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) menyebutkan bahwa wali hakim adalah pihak yang ditunjuk oleh Menteri Agama atau pejabat yang ditunjuk olehnya. Hal ini sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 huruf (b), sebagaimana berikut:

Wali hakim ialah wali nikah yang ditunjuk oleh Menteri Agama atau pejabat yang ditunjuk olehnya, yang diberi hak dan kewenangan untuk bertindak sebagai wali nikah,” (Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. [Jakarta, Kemenag RI: 2018], h.3)

Dalam KHI Pasal 23 disebutkan, wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada, tidak mungkin dihadirkan, atau tidak diketahui keberadaannya. Selain itu, wali hakim juga dapat menjadi wali nikah apabila wali nasab bersikap ‘aḍhl (enggan menikahkan), namun hal tersebut harus dibuktikan dengan putusan Pengadilan Agama.

Sementara itu, Peraturan Menteri Agama Nomor 30 Tahun 2024 tentang Pencatatan Pernikahan, Pasal 13 ayat (2) dan (3) menyebutkan bahwa wali hakim adalah penghulu yang diberi tugas tambahan sebagai Kepala KUA. Jika Kepala KUA bukan penghulu, maka orang yang berperan sebagai wali hakim adalah penghulu yang ditunjuk.

Selanjutnya, dalam Pasal 13 ayat (5) disebutkan bahwa terdapat enam keadaan ketika wali hakim dapat bertindak sebagai wali nikah, yaitu apabila terjadi salah satu dari keadaan berikut:

  1. Wali nasab tidak ada;
  2. Walinya adhal;
  3. Walinya tidak diketahui keberadaannya;
  4. Walinya tidak dapat dihadirkan/ditemui karena dipenjara;
  5. Wali nasab tidak ada yang beragama Islam; dan
  6. Wali yang akan menikahkan menjadi pengantin itu sendiri.

Dengan demikian, wali hakim adalah penguasa atau pihak yang mewakili pemerintah dalam menjalankan perwalian nikah bagi pengantin wanita yang tidak memiliki wali nasab. Dalam konteks Indonesia, kewenangan tersebut dijalankan oleh penghulu yang diberi tugas tambahan sebagai Kepala Kantor Urusan Agama (KUA). Jika Kepala KUA bukan seorang penghulu, maka wali hakim adalah penghulu yang ditunjuk secara resmi Kementerian Agama. Wallahu a’lam.(*)

Related posts