lensareportase.com, Jakarta – Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) memastikan pelindungan dan pemenuhan hak LA (19) korban kekerasan seksual di salah satu pondok pesantren di Muaro Jambi. Terkait hal tersebut, Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan KemenPPPA, Ratna Susianawati mengatakan, pihaknya telah melakukan koordinasi dengan Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Pengendalian Penduduk (DP3AP2) Provinsi Jambi.
“DP3AP2 Provinsi Jambi melalui Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Provinsi Jambi telah memberikan pelayanan pendampingan, pemeriksaan psikologi, dan psikososial. Selain itu, juga berkomitmen mendampingi serta memantau hingga korban kembali pulih dan terminasi,” ujar Ratna, di Jakarta, Rabu (5/10).
Ratna menjelaskan, kejadian kekerasan seksual berupa pencabulan dialami korban LA sejak tahun 2019 lalu. “Pada saat kejadian, korban masih berusia anak, yaitu 16 tahun. Sangat disayangkan kasus kekerasan seksual masih terjadi di lembaga pendidikan berasrama yang seharusnya menjadi tempat yang aman bagi peserta didik. Terlebih kasus ini dilakukan oleh orang terdekat, yakni pimpinan pondok pesantren yang memiliki relasi kuasa, di mana pimpinan pondok pesantren seharusnya melindungi anak, tetapi justru melakukan kekerasan seksual. Penegakan hukum harus benar-benar dilakukan, pelaku harus dihukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku,” kata Ratna.
Berdasarkan hasil koordinasi, pada 18 September 2022 pelaku AA (47) kembali melakukan kekerasan seksual terhadap korban. “Korban pernah diberi uang, tetapi korban menolaknya meskipun dipaksa oleh pelaku. Pada 22 September 2022 korban melaporkan kasus kekerasan seksual yang dialaminya ke Kepolisian Sektor (Polsek) Sungai Gelam Kabupaten Muaro Jambi dan pelaku AA sudah ditetapkan sebagai tersangka kasus percabulan,” tutur Ratna.
Ratna menerangkan, Polsek Sungai Gelam telah melakukan proses penyidikan dan penyelidikan, baik pemeriksaan terhadap saksi, termasuk melakukan gelar perkara. Berdasarkan hal tersebut pelaku AA (44) dijerat Pasal 76E Undang-Undang (UU) Nomor 35 Tahun 2014, mengingat kekerasan seksual pertama kali dilakukan oleh pelaku pada saat korban berusia anak. Oleh karena itu, pelaku terancam sanksi pidana dalam Pasal 82 UU Nomor 17 Tahun 2016 dengan hukuman penjara minimal 5 tahun dan maksimal 15 tahun dan/atau denda maksimal Rp5 miliar.
“Saat ini pelaku telah ditahan dan kasusnya dilimpahkan ke Kepolisian Resor (Polres) Muaro Jambi untuk ditindaklanjuti sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Per 6 Oktober 2022, pemberkasan tahap I akan dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Muara Jambi,” jelas Ratna.
Ratna pun mengapresiasi keberanian korban untuk melaporkan kekerasan seksual yang dialaminya dan respon cepat pihak kepolisian yang berhasil mengungkap kasus ini. “Kekerasan seksual merupakan fenomena gunung es, yang mana banyak kasus yang tidak terlaporkan dan terungkap, sehingga pelaku tidak mendapatkan hukuman yang sesuai. KemenPPPA akan mengawal proses penanganan bagi anak-anak yang menjadi korban dan memastikan LA mendapatkan akses keadilan dan mendapatkan layanan pendampingan sesuai kebutuhannya,” tutur Ratna.
Ratna menegaskan, KemenPPPA terus mengajak masyarakat yang mengalami, mendengar, melihat, atau mengetahui kasus kekerasan untuk berani melapor ke lembaga-lembaga yang telah diberikan mandat oleh Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), seperti UPTD PPA, Penyedia Layanan Berbasis Masyarakat, dan Kepolisian. “Masyarakat juga dapat melapor melalui hotline Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) 129 atau Whatsapp 08111-129-129,” pungkas Ratna.(*)
BIRO HUKUM DAN HUMAS KEMEN PPPA