Jakarta (15/10) – Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) mengutuk keras aksi tindak pidana kekerasan seksual (TPKS) berupa persetubuhan yang dilakukan oleh 6 pelaku terhadap seorang pelajar penyandang disabilitas di wilayah Cepu, Kabupaten Blora, Jawa Tengah. Deputi Perlindungan Khusus Anak KemenPPPA, Nahar, menegaskan pihaknya akan terus mendorong Aparat Penegak Hukum (APH) untuk menjatuhkan hukuman sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.
“Kami mengutuk keras tindak kekerasan terhadap anak yang dilakukan oleh 6 orang pelaku. Kami pun mendorong Aparat Penegak Hukum (APH) untuk mengusut tuntas kasus ini, agar semua pelaku dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya. Kami berharap semua terduga pelaku bisa segera ditangkap. Kami mendukung kerja keras pihak aparat kepolisian yang masih memburu para terduga pelaku. KemenPPPA akan terus mengawal kasus ini bersama APH dan Dinas PPPA setempat, agar para pelaku dapat segera diproses sesuai dengan hukum yang berlaku,” tutur Nahar.
Berdasarkan informasi yang didapatkan dari Tim Layanan Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) 129 dan hasil koordinasi dengan Unit Pelayanan Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Kabupaten Blora dan jajaran kepolisian Cepu, tindak kekerasan seksual yang dilakukan para tersangka telah berlangsung sejak tahun 2022 di tiga lokasi yaitu di pencucian motor tempat kerja pelaku, pasar swalayan dan rumah korban. Pelaku menggunakan modus berupa iming-iming uang untuk menjerat korban. Korban saat ini dalam kondisi hamil tujuh bulan.
“Tim Layanan SAPA 129 dan Unit Pelayanan Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Kabupaten Blora juga telah berkoordinasi dengan Dinas Sosial setempat untuk melakukan penanganan dan pendampingan kepada korban. Pendampingan yang dilakukan berupa visum, pemeriksaan kesehatan dan pemeriksaan psikolog. Saat ini, korban tinggal bersama kedua orang tuanya, kami akan terus memberikan pendampingan kepada korban dan keluarganya. Kami juga memastikan agar korban tetap mendapatkan hak pendidikannya,” jelas Nahar.
Nahar mengatakan jika para pelaku terbukti melakukan tindak pidana persetubuhan dapat dikenakan Pasal 81 Ayat (1), (2), dan (3) UU Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjadi Undang-Undang dengan ancaman pidana penjara hingga 15 tahun dan denda paling banyak lima miliar rupiah.