JAKARTA – Pembahasan Rancangan Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) kini masih bergulir di DPR RI.
Beragam isu dan wacana muncul dalam pembahasan RUU tersebut, salah satunya adalah kembalinya Dwi Fungsi ABRI.
Terkait hal itu, sekelompok aktivis yang berhimpun dalam Simpul Aktivis Angkatan 98 atau SIAGA 98, angkat bicara.
Dalam pernyataan resminya pada awal media, Koordinator SIAGA 98, Hasanuddin mengatakan, munculnya isu kembalinya Dwi Fungsi ABRI (TNI) adalah sebuah kekhawatiran yang berlebihan.
Menurut Hasanuddin, hal itu tidak akan terjadi apabila RUU TNI disahkan menjadi Undang Undang.
Hal itu lantaran menurutnya, saat ini TNI sudah terbebas dari oengaruh kekuasaan, berbeda dengan pada masa Orde Baru.
Menurutnya, kini kekuasaan presiden telah dibatasi, yakni maksimal dua periode. Berbeda dengan dahulu ketika kekuasaan presiden tidak dibatasi.
“Kekhawatiran Dwi fungsi ABRI (TNI), atau penggunaaan militer untuk untuk kekuasaan tentu sudah tidak relevan lagi, terkecuali jabatan presiden tidak dibatasi,” ujar Hasanuddin, dikutip Minggu (16/3/2025).
Hal lain yang menurut Hasanuddin wacana kembalinya Dwi Fungsi ABRI (TNI) sudah tidak relevan adalah nihilnya peran militer di parlemen saat ini.
Menurutnya, saat ini militer sudah tidak memiliki peran di parlemen, sebab UU Pemilu dan DPR sudah menghapus ketentuan tersebut.
“Begaimanapun, landasan peran militer terlibat didalam politik diukur dari dua parameter ini,” ungkapnya.
Sementara itu, terkait wacana keterlibatan TNI di lembaga pemerintahan, seperti Kementerian, Hasanuddin mengatakan, hal itu merupakan bagian dari peran TNI untuk memperkuat pertahanan nasional.
Sebab menurutnya, kini kita tidak bisa lagi melihat peran militer hanya dari perspektif perang konvensional saja.
Hasanuddin menuturkan, saat ini situasi sudah berubah. Perang sudah berkembang melampaui kekuatan persenjataan dan militeristik, sudah jauh masuk pada ekonomi, kebudayaan dan sosial, serta teknologi infomasi dan siber.
“Jika kita membatasi peran TNI hanya sebatas pada peran militer konvensional atau alat perang semata maka dipastikan pertahanan kita melemah,” sambungnya.
Karena itulah, Hasanuddin beranggapan, TNI tidak bisa kita pisahkan perannya pada hal sosial.
Sebab jika hal ini dilakukan, maka peran TNI terbatas menjadi ‘pemadam kebakaran’ jika terjadi keadaan perang.
“Oleh sebab itu, harus dibuka ruang sosial bagi peran serta TNI dalam memperkuat pertahanan nasional, misalnya pada ketahanan pangan, kebencanaan nasional, dan menjaga instalasi dan institusi dan aparatur negara yang strategis,” paparnya.
Namun Hasanuddin menegaskan, SIAGA 98 tetap berprinsip bahwa TNI tidak boleh berpolitik atau menjadi alat politik kekuasaan.
“Kekuasaan presiden sudah dibatasi dan tentara tidak ada di parlemen, maka tidak ada yang perlu dikhawatirkan peran sosialnya,” pungkasnya.(*)