JAKARTA – Para Pemohon Perkara Nomor 203/PUU-XXIII/2025 menyampaikan perbaikan permohonan pengujian materiil Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker). Para Pemohon mengubah pasal-pasal yang diuji menjadi Pasal 30 ayat (1) dalam Pasal 32 angka 2, Pasal 14 ayat (1) huruf c dalam Pasal 62 angka 2, Pasal 31 ayat (2), dan Pasal 44 ayat (2) dalam 124 angka 1 Lampiran UU Cipta Kerja.
“Permohonan awal ada lima pasal, di perbaikan ini kemudian hanya tersisa empat pasal, Pasal 173 ayat (4) itu kemudian kami hapus di perbaikan ini karena ada di permohonan lain,” ujar Mulya Sarmono selaku kuasa hukum para Pemohon dalam sidang perbaikan permohonan pada Rabu (19/11/2025) di Ruang Sidang MK, Jakarta.
Para Pemohon juga telah mencantumkan dan menambahkan uraian kerugian hak konstitusionalnya. Para Pemohon pun telah mengaitkan kerugian hak konstitusional tersebut dengan pertentangan antara norma-norma yang diuji dan batu uji atau pasal dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945 sebagai dasar pengujian permohonan ini.
Selain itu, para Pemohon juga mengubah petitum. Dalam petitum perbaikannya, para Pemohon memohon kepada Mahkamah untuk menyatakan Pasal 19 ayat (2) sepanjang frasa “dan/atau proyek strategis nasional” dalam Pasal 31 angka 1 Lampiran UU Cipta Kerja bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Dalam hal untuk kepentingan umum Lahan budi daya Pertanian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dialihfungsikan dan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”; menyatakan Pasal 30 ayat (1) sepanjang frasa “Impor Komoditas Pertanian” Paragraf 3 Pasal 32 Angka 2 Lampiran UU Cipta Kerja bertentangan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Impor Komoditas Pertanian hanya dapat dilakukan apabila produksi pertanian dalam negeri dan cadangan pangan pemerintah tidak mencukupi”; menyatakan Pasal 14 ayat (1) huruf c Paragraf 11 Pasal 62 Angka 2 Lampiran UU Cipta Kerja bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum; menyatakan Pasal 36 dalam Pasal 64 angka 4 Lampiran UU Cipta Kerja bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Impor Pangan hanya dapat dilakukan apabila Produksi Pangan dalam negeri tidak mencukupi, tidak dapat diproduksi di dalam negeri dan/atau apabila Produksi Pangan dalam negeri dan Cadangan Pangan Nasional tidak mencukupi”; serta menyatakan Pasal 44 ayat (2) “dan/atau proyek strategis nasional” dalam Pasal 124 angka (1) Lampiran UU Cipta Kerja bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai dimaknai “Dalam hal untuk kepentingan umum Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dialihfungsikan dan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.
Para Pemohon perkara ini menamai diri Tim Advokasi Gugat Omnibus Law yang terdiri dari Serikat Petani Indonesia (SPI), Yayasan Bina Desa Sadajiwa (Bina Desa), Perkumpulan Jaringan Masyarakat Tani Indonesia (JAMTANI), Aliansi Petani Indonesia (API), Aliansi Organis Indonesia, Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), Perkumpulan Pemantau Sawit (Sawit Watch), dan Perkumpulan FIAN Indonesia. Pada intinya para Pemohon Perkara Nomor 203/PUU-XXIII/2025 ini menilai ketentuan mengenai impor komoditas pertanian dan pangan dalam pasal-pasal yang diuji tidak memperhatikan produksi pertanian dalam negeri dan cadangan pangan pemerintah.
“Pengaturan kecukupan kebutuhan konsumsi dan/atau cadangan pangan Pemerintah berasal dari produksi dalam negeri menjadi tidak prioritas yang berakibat pada tidak adanya perlindungan dan jaminan kepastian hukum terhadap petani,” ujar kuasa para Pemohon Dhona El Furqon dalam sidang pemeriksaan pendahuluan pada Kamis (6/11/2025) di Ruang Sidang MK, Jakarta.
Mereka menilai pengaturan yang diuji tersebut menempatkan impor komoditas pertanian dan pangan sebagai salah satu prioritas sumber penyediaan pangan dan justru tidak mengutamakan produksi dalam negeri dengan memanfaatkan sumber daya dan kearifan lokal secara optimal.
Menurut para Pemohon, impor komoditas pertanian dan pangan menjadi prioritas penyediaan pangan yang setara dengan produksi dalam negeri dan cadangan pangan nasional mengganti penguasaan sumber-sumber pangan oleh negara dengan instrumen perdagangan bebas. Padahal, para Pemohon menilai pangan sebagai bagian dari cabang produksi yang menyangkut hajat hidup orang banyak dan sebagai bagian bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, seharusnya dalam penguasaan negara untuk melindungi tujuan bagi sebesar-besar kemakmuran.
Perkara ini disidangkan Majelis Panel Hakim yang dipimpin Hakim Konstitusi Saldi Isra dengan didampingi Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur dan Hakim Konstitusi Arsul Sani. Sebelum menutup persidangan, Saldi mengatakan sidang perkara ini akan dilaporkan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim untuk menentukan apakah akan lanjut ke sidang pemeriksaan secara pleno atau diputus tanpa pemeriksaan tersebut.(*)




