JAKARTA – Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang lanjutan perkara uji materiil Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (UU Pers) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada Senin (24/11/2025). Sidang yang dipimpin Ketua MK Suhartoyo tersebut menghadirkan saksi dari pihak Pemerintah.
Perkara Nomor 145/PUU-XXIII/2025 ini diajukan oleh Ikatan Wartawan Hukum (IWAKUM) melalui Ketua Umum Irfan Kamil dan Sekretaris Jenderal Ponco Sulaksono. Para Pemohon mempersoalkan Pasal 8 UU Pers beserta penjelasannya yang dinilai multitafsir dan berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum dalam memberikan perlindungan kepada wartawan.
Saksi dari Pemerintah, Cristian Chelsia Chan, yang pada 1999 terlibat sebagai Tim Perumus UU Pers mewakili masyarakat sipil, memaparkan dinamika pembentukan Pasal 8. Ia menjelaskan bahwa latar belakang perumusannya tercatat dalam Memorie van Toelichting (MvT) UU Pers.
“Pembentuk undang-undang telah mencapai konsensus bahwa negara berkewajiban melindungi profesi wartawan, menjamin kemerdekaan pers yang bertanggung jawab, serta memastikan perlindungan terhadap kerja jurnalistik sebagai salah satu pilar demokrasi,” ujarnya.
Cristian menambahkan, perlindungan terhadap wartawan tidak hanya berkaitan dengan aparat negara, tetapi juga tekanan dari masyarakat. “Misalnya, ancaman dari kelompok masyarakat terhadap penerbitan pers agar memuat atau tidak memuat suatu berita. Karena itu, kita menginginkan agar semua pihak mengindahkan kaidah hukum. Hukum harus diutamakan dalam upaya perlindungan pers,” jelasnya.
Ia mengatakan, dalam pembahasan di DPR, seluruh fraksi sepakat bahwa perlindungan terhadap wartawan penting. Namun, perlindungan tersebut tidak bersifat otomatis dan tetap harus mempertimbangkan ketentuan hukum yang berlaku.
Cristian menegaskan, berdasarkan MvT yang memuat risalah Panja dan Pansus, Pasal 8 UU Pers tidak dimaksudkan untuk membebaskan wartawan dari proses penegakan hukum. Norma tersebut dirumuskan sebagai ketentuan yang terbuka dan seimbang, yakni memberikan perlindungan bersyarat agar wartawan dapat bekerja profesional, independen, dan beritikad baik tanpa rasa takut terhadap kriminalisasi selama menjalankan tugas sesuai peraturan perundang-undangan. Ia juga menyebut bahwa Pasal 8 UU Pers menjadi katalis lahirnya berbagai instrumen perlindungan hukum bagi wartawan dalam melaksanakan aktivitas jurnalistik.
Lebih lanjut, Cristian mengungkapkan bahwa meski terdapat pandangan seragam mengenai pentingnya perlindungan pers, kekhawatiran mengenai potensi abuse of power juga muncul. Hal ini mengingat praktik jurnalistik sering bersinggungan dengan kepentingan pribadi masyarakat. Oleh karena itu, kesesuaian tindakan jurnalistik dengan peraturan perundang-undangan menjadi prinsip penting untuk menjaga keseimbangan antara kebebasan pers dan akuntabilitas hukum.
Sebelumnya, IWAKUM menilai Pasal 8 UU Pers tidak sejelas perlindungan hukum bagi profesi lain, seperti advokat yang diatur dalam Pasal 16 UU Advokat maupun jaksa dalam Pasal 8 ayat (5) UU Kejaksaan. Kedua profesi tersebut secara eksplisit dilindungi dari tuntutan hukum sepanjang menjalankan tugas dengan itikad baik.
Ketua Umum IWAKUM Irfan Kamil dalam permohonannya menegaskan bahwa Pasal 8 UU Pers seharusnya menjamin perlindungan hukum bagi wartawan, namun penjelasannya justru memperluas makna secara ambigu. Dalam permohonan, IWAKUM juga menyinggung kasus kriminalisasi jurnalis Muhammad Asrul dan Diananta Pramudianto yang dijerat pidana atas karya jurnalistik mereka. Pemohon menilai hal tersebut menunjukkan ketidakpastian hukum akibat ketidakjelasan Pasal 8 UU Pers.(*)




