Pemerintah Hadirkan Ahli dan Saksi dalam Uji Materiil UU Pers

Jakarta, 24 November 2025 – Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang Pleno dengan agenda Mendengar Keterangan Ahli dan Saksi Presiden untuk perkara Nomor 145/PUU-XXIII/2025 terkait uji materiil Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (UU Pers) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945), pada Senin, 24 November 2025 pukul 10.30 wib.

Perkara yang diajukan oleh Ikatan Wartawan Hukum (IWAKUM) melalui Ketua Umum Irfan Kamil dan Sekjen Ponco Sulaksono mengajukan uji materi terhadap Pasal 8 dan Penjelasan Pasal 8 UU Pers. Mereka menilai ketentuan tersebut multitafsir dan tidak memberi perlindungan hukum yang jelas bagi jurnalis, sehingga berpotensi menimbulkan kriminalisasi, misalnya melalui pasal pencemaran nama baik. Mereka meminta MK menyatakan pasal tersebut inkonstitusional serta menegaskan bahwa wartawan tidak dapat diproses pidana atau perdata ketika menjalankan profesinya sesuai kode etik tanpa melalui Dewan Pers.

Pemohon menilai pers sebagai pilar demokrasi seharusnya memiliki kepastian hukum yang kuat. Ketidakjelasan Pasal 8 dinilai bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1), dan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, sehingga layak dibatalkan oleh MK.

Direktur Jenderal Komunikasi Publik dan Media Kominfo, Fifi Aleyda Yahya, menegaskan pada sidang 6 Oktober lalu bahwa Pasal 8 UU Pers tidak multitafsir karena telah jelas mengatur perlindungan hukum bagi wartawan sebagai bagian dari jaminan kemerdekaan pers. Ia menyebut pasal tersebut sebagai norma terbuka yang fleksibel, dengan perlindungan yang juga diperkuat melalui Dewan Pers, LPSK, dan Komnas Perempuan. Fifi juga menilai bahwa perbandingan dengan profesi lain tidak relevan karena perlindungan terhadap wartawan bukan merupakan bentuk kekebalan hukum. Setelah putusan MK terkait frasa “tanpa hak” dalam KUHP, pemerintah menegaskan bahwa Pasal 8 tetap memberikan kepastian hukum serta menjaga martabat dan kehormatan wartawan.

Dalam uji materiil UU Pers di Mahkamah Konstitusi pada 21 Oktober 2025, PWI dan AJI hadir sebagai pihak terkait. PWI menilai Pasal 8 tetap konstitusional, tetapi perlu diperkuat agar perlindungan bagi wartawan bersifat aktif dan komprehensif, mencakup aspek hukum, fisik, digital, dan psikologis. Sementara itu, AJI menilai persoalan utama bukan terletak pada norma, melainkan lemahnya implementasi pemerintah. AJI mencatat 73 kasus kekerasan terhadap jurnalis pada 2024 dan menegaskan bahwa negara harus hadir memberi perlindungan nyata, termasuk menyediakan bantuan hukum dan menindak aparat yang melakukan kekerasan.

Dari sisi legislatif, DPR melalui Rudianto Lallo menegaskan dalam sidang 29 November lalu bahwa UU Pers disusun untuk menjamin kemerdekaan pers serta melindungi wartawan sebagai penyampai informasi, kontrol sosial, dan pengawas kekuasaan. Perlindungan hukum diberikan melalui Pasal 8 dan Pasal 18 ayat (1), yang juga mengatur sanksi bagi pihak yang menghalangi kerja jurnalistik. Pembentukan Dewan Pers, menurutnya, bertujuan menjaga profesionalisme dan kebebasan pers.

Sementara itu, Dewan Pers melalui Abdul Manan menekankan bahwa perlindungan wartawan merupakan tanggung jawab negara dan masyarakat melalui peran legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Ia menyoroti masih adanya kasus pemidanaan wartawan menggunakan KUHP dan menegaskan bahwa penyelesaian perkara yang terkait dengan kegiatan jurnalistik seharusnya dilakukan melalui mekanisme yang diatur dalam UU Pers.

Pemohon menghadirkan Ahli dan Saksi pada sidang 10 November lalu, Albert Aries menilai Pasal 8 UU Pers terlalu umum dan tidak memberi kepastian hukum karena definisi “perlindungan hukum” bersifat delegatif dan bergantung pada aturan lain. Ia menegaskan bahwa wartawan semestinya mendapat imunitas profesi seperti advokat atau anggota BPK, selama bekerja dengan itikad baik, tanpa menghindarkan mereka dari proses hukum bila melakukan pelanggaran. Sementara itu, Saksi Moh. Adimaja menceritakan bahwa ia pernah mengalami kekerasan fisik dan ancaman saat meliput di Kwitang, Jakarta, sehingga ia berharap perlindungan hukum bagi jurnalis diperjelas untuk mencegah kejadian serupa.(*)

Related posts