Mempertajam Argumentasi Uji Keterlibatan TNI dalam Operasi Militer Selain Perang

JAKARTA – Mahkamah Konstitusi kembali menggelar sidang terhadap permohonan dari lima badan hukum privat yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan dan lima warga terkait uji materiil Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia dan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI). Sidang kedua untuk Perkara Nomor 197/PUU-XXIII/2025 ini beragenda mendengarkan pokok-pokok perbaikan para Permohon, yakni Perkumpulan Inisiatif Masyarakat Partisipatif untuk Transisi Berkeadilan (Imparsial/Pemohon I), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI/Pemohon II), Perkumpulan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS/Pemohon III), Aliansi Jurnalis Independen Indonesia (Pemohon IV), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum APIK Jakarta (Pemohon V). Kemudian tiga orang warga yang masuk sebagai Pemohon yaitu Ikhsan Yosarie (Pemohon VI), Mochamad Adli Wafi (Pemohon VII), dan Muhammad Kevin Setio Haryanto (Pemohon VIII).

Afif Abdul Qoyim selaku kuasa hukum para Pemohon dalam persidangan mengatakan telah mempertajam kedudukan hukum (legal standing) setiap Pemohon. Kemudian, mempertajam argumentasi mengenai Pasal 30 UUD NRI Tahun 1945, dan perbaikan pada pasal yang diujikan yang dianggap berkelindan, yakni Pasal 53 ayat (3) UU TNI.

“Menyatakan Pasal 7 ayat (2) huruf b angka 9 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai: “adalah membantu pelaksanaan fungsi pemerintahan dalam situasi dan kondisi yang memerlukan sarana, alat, dan kemampuan TNI untuk menyelesaikan permasalahan yang sedang dihadapi antara lain membantu mengatasi akibat bencana alam dan merehabilitasi infrastruktur,” ucap Afif membacakan salah satu petitum para Pemohon pada sidang panel yang dipimpin oleh Wakil Ketua MK Saldi Isra bersama dengan Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur dan Hakim Konstitusi Arsul Sani.

Sebagai tambahan informasi, pada sidang perdana di MK, Selasa (4/11/2025), para Pemohon mendalilkan bahwa Pasal 7 ayat (2) huruf b angka 9, angka 15; Pasal 7 ayat (4); Pasal 47 ayat (1); Pasal 53 ayat (2) huruf b, c, d, e; dan Pasal 53 ayat (4); dan Pasal 74 ayat (1) dan ayat (2) UU TNI bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Dalam persidangan tersebut disebutkan tugas pokok TNI untuk operasi militer selain perang (OMSP) dengan membantu tugas pemerintahan di daerah bertentangan dengan Pasal 28E ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Pasal 7 ayat (2) huruf b angka 9 UU TNI mengatur tugas pokok TNI dalam OMSP untuk membantu tugas pemerintahan di daerah. Sementara itu pada penjelasannya disebutkan membantu pelaksanaan fungsi Pemerintah dalam situasi dan kondisi yang memerlukan sarana, alat, dan kemampuan TNI untuk menyelesaikan permasalahan yang sedang dihadapi, antara lain membantu mengatasi akibat bencana alam, merehabilitasi infrastruktur, serta mengatasi masalah akibat pemogokan dan konflik komunal.

Menurut para Pemohon dengan munculnya frasa “konflik komunal” pada pasal tersebut secara terang-benderang telah menyimpangi rezim pengaturan konflik sosial, khususnya yang berkaitan dengan penggunaan kekuatan TNI untuk penghentian konflik. Dengan demikian, rumusan pasal tersebut telah bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan dikhawatirkan akan mengancam hak konstitusional warga negara.

Berikutnya para Pemohon mendalilkan bahwa tugas pokok TNI untuk OMSP untuk membantu dalam upaya menanggulangi ancaman pertahanan siber bertentangan dengan Pasal 30 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Ketentuan Pasal 7 ayat (2) angka 15 UU TNI menyebutkan salah satu tugas pokok TNI dalam OMSP yakni membantu dalam upaya menanggulangi ancaman pertahanan siber. Ruang lingkup tugas pokok TNI tersebut dinilai para Pemohon tidak tepat, karena aspek pertahanan siber sepenuhnya menjadi tugas pokok dari TNI yang menjadi bagian dari operasi militer perang. Oleh karenya, pasal a quo bertentangan dengan Pasal 30 ayat (3) UUD 1945.

Para Pemohon juga menyoroti pemberian pertimbangan dan persetujuan DPR kepada Presiden, dalam hal pelaksanaan persyaratan “kebijakan dan keputusan politik negara”, kaitannya dengan pelaksanaan OMSP. Seharusnya OMSP juga serupa dengan pelaksanaan Operasi Militer Perang (OMP), yang melibatkan pemerintah—Presiden dan DPR di saat yang bersamaan, dalam pengambilan keputusan.

Menurut para Pemohon, keterlibatan DPR dalam memutuskan kebijakan OMSP dapat dipahami pula sebagai bentuk pencegahan (preventif) dari risiko kesewenang-wenangan yang potensial dilakukan oleh pemerintah—Presiden sebagai pemegang kekuasaan tertinggi Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara. Dengan demikian menurut para Pemohon, ketentuan Pasal 7 ayat (4) dan penjelasan Pasal 7 ayat (2) huruf b angka 1 dan 2 UU a quo, bertentangan dengan Pasal 10, Pasal 11 ayat (1), dan Pasal 20A ayat (1) UUD 1945, serta harus dinyatakan inkonstitusional.(*)

Related posts