Kemensos Ubah Paradigma SDM Pendamping dari Terdata ke Terselesaikan

Bandung – Kementerian Sosial (Kemensos) menekankan perubahan paradigma kerja para pendamping rehabilitasi sosial yang saat ini berjumlah 635 orang dari 38 provinsi, yakni dari sekedar “terdata” menjadi “terselesaikan”.

Artinya, pendamping rehabilitasi sosial yang kini telah beralih status menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) itu, memiliki kewajiban menuntaskan masalah sosial hingga ke akar dan meninggalkan pola kerja yang hanya berorientasi pada pendataan administratif.

“Para pendamping ini sudah menjadi bagian tidak terpisahkan dari organisasi Kementerian Sosial. Artinya, mereka terikat aturan kepegawaian dan kehadiran, serta target hasil kerja harus melekat selayaknya Aparatur Sipil Negara (ASN),” kata Direktur Rehabilitasi Sosial Korban Bencana dan Kedaruratan (RSKBK) Kemensos, Rachmat Koesnadi dalam keterangan di Bandung, Senin.

Langkah itu diambil untuk menjawab instruksi Presiden yang meminta penanganan 26 jenis permasalahan sosial, mulai dari kemiskinan konvensional hingga isu kontemporer seperti Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), HIV/AIDS, dan narkotika, tidak boleh menggantung tanpa solusi akhir yang konkret.

Rachmat menegaskan para pendamping yang berasal dari seluruh Indonesia ini, sebelumnya merupakan tenaga kemasyarakatan yang direkrut pemerintah. Dengan pengukuhan status menjadi PPPK, pemerintah kini menuntut profesionalitas berbasis Standar Nasional Indonesia (SNI) dalam setiap intervensi kasus.

Rachmat menyampaikan hal tersebut, di hari terakhir kegiatan penguatan SDM Pendamping di Surabaya, tanggal 20-22 November, yang diikuti peserta dari DIY, Jawa Tengah dan Jawa Timur, dengan juga menekankan manajemen alur kerja berbasis keilmuan pekerjaan sosial dan pemanfaatan teknologi komunikasi.

Dalam keterangan tertulis yang diterima, pelaksana kegiatan, Isye, menjelaskan bahwa standarisasi ini mendesak dilakukan agar setiap langkah penanganan, mulai dari asesmen hingga terminasi, dapat dihitung, dipantau, dan dipertanggungjawabkan akuntabilitasnya kepada publik.

Rachmat menambahkan nantinya seluruh pendamping akan memiliki satu standar yang sama dalam mendata, menangani, dan menyelesaikan masalah sosial.

“(Karenanya), kegiatan serupa akan dilanjutkan ke provinsi lain dengan dukungan anggaran yang memadai,” tutur Rachmat.

Perubahan status dan standarisasi ini juga disambut positif oleh para tenaga di lapangan. Salah satunya, Rudi, pendamping rehabilitasi sosial asal Banyuwangi, Jawa Timur, yang mengaku pengangkatan status menjadi ASN memberikan kepastian karier, sementara adanya SOP yang jelas memberikan perlindungan profesi.

“Kami jadi lebih tenang dan yakin dalam bekerja. Ada ukuran yang jelas, mulai dari memahami masalah, merencanakan intervensi, hingga meyakini bahwa masalah sosial tersebut benar-benar terselesaikan secara penuh,” kata Rudi.

Related posts