Hak Atas Tanah dan Perlindungan Hukum Masyarakat di Kawasan Hutan

JAKARTA – Sejumlah pasal dalam UU Cipta Kerja diujikan ke Mahkamah Konstitusi oleh Serikat Petani Indonesia (SPI/Pemohon I), Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA/Pemohon II), Yayasan Bina Desa Sadajiwa (Bina Desa/Pemohon III), Aliansi Petani Indonesia (API/Pemohon IV), Perkumpulan Pemantau Sawit (Pemohon V), Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS/Pemohon VI), dan Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan (KIARA/Pemohon VII). Sidang Pemeriksaan Pendahuluan Perkara Nomor 213/PUU-XXIII/2025 ini dipimpin oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat pada Senin (17/11/2025).

Norma yang diujikan di antaranya Pasal 26 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Pada Bagian Keempat Penyederhanaan Berusaha Sektor Serta Kemudahan Investasi Pasal36 Angka 4; Pasal 28 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan Pada Bagian Keempat Penyederhanaan Berusaha Sektor serta Kemudahan Investasi Pasal 36 Angka 6; Pasal 29A Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan Pada Bagian Keempat Penyederhanaan Berusaha Sektor Serta Kemudahan Investasi Pasal 36 Angka 8; Pasal 10 Undang-Undang Nomor 2 Tahun2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Kepentingan Umum Pada Bagian Kedua Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Pasal 123 Angka 2; Pasal 19A, Pasal 19B, dan Pasal 19C Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Pada Bab VIII Pengadaan Tanah Bagian Kedua Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Pasal 123 Angka 5; Pasal 34 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Pada Bab VIII Pengadaan Tanah Bagian Kedua Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Pasal 123 Angka 8, Pasal 125, Pasal 129, Pasal 137, Pasal 138 Pada Bab VIII Pengadaan Tanah; Lampiran Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja. Keseluruhan norma tersebut dinilai bertentangan dengan Pasal 28 D Ayat (1), Pasal 28 I Ayat (3), dan Pasal 33 Ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Dhona El Furqon selaku kuasa hukum para Pemohon dalam persidangan mengatakan Pemerintah menetapkan reforma agraria sebagai program prioritas nasional. Tujuannya untuk memperbaiki ketimpangan struktur penguasaan tanah menjadi lebih berkeadilan, menyelesaikan konflik agraria yang bersifat struktural yang dialami masyarakat, dan memperkuat hak atas tanah untuk sumber kesejahteraan. Reforma agraria atau pembaruan agraria mencakup suatu proses yang berkesinambungan berkenaan dengan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan sumber daya agraria yang dilaksanakan dalam rangka tercapainya kepastian dan perlindungan hukum serta keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia.

Namun adanya pengaturan pengecualian pemberian sanksi admintratif terhadap perseorangan atau kelompok masyarakat yang bertempat tinggal di dalam dan/atau di sekitar Kawasan Hutan paling singkat lima tahun secara terus-menerus menjadi bentuk ketidakpastian hukum atas perlindungan terhadap perseorangan atau kelompok masyarakat tersebut. Sebaliknya, mereka harus dilindungi dengan diberikan jaminan perlindungan dan kepastian hukum.

“Sebab bentuk pengecualian tersebut mencerminkan diskriminatif dan hilangnya perlindungan jaminan dan kepastian hukum. Dengan demikian, menurut para Pemohon, Pasal 50A ayat (2) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah (UU Cipta Kerja) bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945,” sampai Dhona El Furqon di Ruang Sidang Panel MK.

 

Kepentingan Publik vs Kepentingan Bisnis

Kuasa hukum para Pemohon berikutnya, Mulya Sarmono menyebutkan Pasal 123 Angka 2 UU Cipta Kerja telah memperluas jenis proyek pengadaan tanah bagi kepentingan umum. Akibatnya menghilangkan batas perbedaan antara kepentingan publik dan kepentingan bisnis perusahaan. Akibat dari perluasan jenis proyek untuk kepentingan umum tersebut menjadi dasar hukum bagi pengusaha agar bisnisnya ditetapkan sebagai Kepentingan Umum atau Proyek Strategis Nasional (PSN).

Apabila proyek swasta ditetapkan sebagai PSN, maka pengusaha mendapatkan fasilitas dan dukungan negara sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2021 tentang Kemudahan Proyek Strategis Nasional. Oleh karenanya, menurut para Pemohon, frasa “diprakarsai dan/atau dikuasai” oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara, atau Badan Usaha Milik Daerah dalam pasal a quo menimbulkan ketidakpastian hukum bagi masyarakat.

 

Swastanisasi Pengadaan Tanah

Para Pemohon juga mendalilkan bahwa adanya fenomena swastanisasi pengadaan tanah bagi kepentingan umum juga dapat dilihat dalam Daftar Indikasi Proyek Strategis Nasional 2025-2029. Proyek milik perusahaan swasta sektor pertambangan ditetapkan sebagai PSN dan dalam pembangunannya mendapatkan kemudahan, termasuk pengadaan tanah sebagaimana ditentukan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2021 tentang Kemudahan Proyek Strategis Nasional. Dengan ditetapkannya proyek milik perusahaan swasta sebagai kepentingan umum, secara tidak langsung telah mendiskriminasi masyarakat itu sendiri. Sebab proyek swasta yang dibangun dengan metode melakukan pengadaan tanah untuk kepentingan umum tidak relevan dengan kebutuhan masyarakat.

Pengadaan tanah proyek swasta atas nama kepentingan umum melalui metode penetapan PSN tersebut telah menyimpang dari nilai dan prinsip Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, bahkan menyalahi makna sebesar-besar kemakmuran rakyat. Mahkamah Konstitusi melalui Putusan MK Nomor 3/PUU-VIII/2010 telah memberikan empat tolok ukur dalam memaknai klausul ‘sebesar-besar kemakmuran rakyat’. Singkatnya, sejauh ini belum ada aturan hukum yang menentukan tolok ukur bagaimana sebuah pengadaan tanah dapat dikategorikan sebagai kepentingan umum, misalnya sesuai dengan kepentingan dan kebutuhan masyarakat; pembangunan dilakukan oleh pemerintah; hasil pembangunan dimiliki oleh pemerintah; dan pembangunan tidak ditujukan untuk memperoleh keuntungan.

Berdasarkan dalil-dalil tersebut, para Pemohon memohonkan 13 petitum permohonan, yang di antaranya memohon agar Mahkamah menyatakan Pasal 26 Paragraf 4 Pasal 36 angka 4 Lampiran Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Menyatakan Pasal 28 Paragraf 4 Pasal 36 angka 6 Lampiran Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang BertentanganDengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dantidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

 

Kerugian Hak Konstitusional

Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dalam nasihat Sidang Panel mengatakan perlu bagi para Pemohon untuk membaca UU Cipta Kerja dengan fokus dan hati-hati. “Ada beberapa undang-undang yang didalilkan di sini, maka dibuat sesuai kelaziman. Selanjutnya kualifikasi dari para pihak yang berhak mewakili organisasi dalam persidangan ini. setelah kualifikasi baru masuk pada kerugian hak konstitusionalnya. Uraian tentang ini tidak ada, sebetulnya sudah dirujuk tetapi tidak terelaborasi dengan hak yang diberikan oleh UUD NRI 1945. Lalu apakah ini normanya yang mau diuji utuh atau pada frasa tertentu saja, atau bagian dari ayat atau kata. Ini harus diuraikan dengan adanya hak itu maka dirugikan dengan dimohonkan pengujiannya,” jelas Enny.

Sementara Hakim Konstitusi Anwar Usman menyebutkan antara posita dan petitum harus saling terkait di dalam permohonan. “Misalnya pada posita dan tidak dicantumkan pada petitum, maka permohonan ini akan dinilai kabur karena tidak ada uraiannya, dalil-dalilnya. Pasal yang diujikan ada 10 pasal dan batu ujinya ada 6 pasal, antara pasal yang satu dan lainnya tidak berkelindan, jika ingin diteruskan harus dipertajam lagi termasuk kedudukan hukum para Pemohon,” terang Anwar.

Adapun Hakim Konstitusi Arief memberikan penekanan pada isu utama yang diungkap oleh para Pemohon yang cukup rumit dipahami. Sehingga perlu memperhatikan konsistensi dalam penulisan pasal-pasal yang diujikan. “Penyebutan pasal perlu diperhatikan punya bunyinya pada beberapa halaman permohonan, kewenangan Mahkamah, dan bagian legal standing juga harus betul-betul ada kerugian konstitusionalnya yang harus muncul. Belum tampak kerugian konstitusional yang dialami para Pemohon, kasus konkret cukup sebagai pintu masuk saja dalam memunculkan kerugian konstitusional,” sampai Arief.

Pada akhir persidangan, Hakim Konstitusi Arief menyatakan para Pemohon dapat menyempurnakan permohonan selama 14 hari. Naskah perbaikan permohonan dapat diserahkan selambat-lambatnya pada Senin, 1 Desember 2025 pukul 12.00 WIB ke Kepaniteraan MK. Selanjutnya Mahkamah akan menggelar sidang kedua dengan agenda mendengarkan pokok-pokok perbaikan permohonan para Pemohon.(*)

Related posts