Di zaman yang serba instan ini, kita seakan dituntut untuk selalu tahu segalanya. Apalagi di era AI yang semakin canggih. Melalui akun-akun media sosial membuat siapa pun merasa perlu berpendapat tentang apa pun. Seolah diam adalah tanda kebodohan. Seolah cepat menjawab adalah tanda kecerdasan.
Padahal, tidak selalu begitu kawan! Bukan kah semua orang akan maklum, bahwa tidak ada manusia bisa mengetahui tentang semua hal. Ibnu Athaillah as-Sakandary pernah berpesan kepada kita, seseorang bisa disebut bodoh justru jika ia selalu ingin menjawab setiap pertanyaan tanpa memahami batas dirinya. Ia lupa bahwa ilmu manusia itu terbatas.
Allah sendiri sudah menegaskan: “Dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.” (QS. Al-Isrâ` [17]: 85).
Dengan sedikitnya ilmu kita, maka tidak seharusnya setiap pertanyaan dijawab. Namun, kita sering tergesa-gesa. Begitu ada pertanyaan, buru-buru menjawab. Seakan semua harus dijelaskan. Seakan semua orang layak mendapat jawaban. Padahal, tidak semua orang yang bertanya untuk belajar. Ada yang bertanya untuk mengetes, ada yang sekadar bermain-main. Jika kita gegabah, jawaban kita bisa jadi blunder pada diri kita.
Itulah kenapa, para politisi sering menjawab pertanyaan wartawan: “no comment”. Artinya apa? Mereka sedang menjalankan strategi, bahwa dalam politik membutuhkan seni komunikasi agar tidak nampak bodoh. Mereka menyadari betul, kalau setiap pertanyaan wartawan dijawab, bisa menimbulkan salah paham, apalagi jika substansinya tidak dikuasai. Maka, kalau toh menjawab, itu jawaban diplomatis.
Orang bijak tahu kapan harus bicara, kapan harus diam. Ada hal-hal yang tidak perlu dijelaskan. Ada rahasia yang lebih baik disimpan. Para bijak berkata, “Hati orang-orang merdeka adalah kuburan rahasia. Rahasia adalah amanat Allah.” Demikian disebutkan dalam kitab Al-Hikam, karya Ibnu Athaillah.
Tapi ada orang yang tak tahan diam. Mereka ingin terlihat tahu segalanya. Mereka ingin setiap pertanyaan dijawab, setiap ilmu diumbar. Mereka lupa bahwa tidak semua ilmu untuk semua orang. Rasulullah saw pernah bersabda, “Di antara ilmu ada yang bagaikan mutiara berlumuran tanah, tidak dikenali kecuali oleh ulama yang mengenal Allah.”
Ali bin Al-Husain bin Ali juga pernah berujar, “Banyak inti ilmu yang jika aku kemukakan, orang-orang akan menganggapku penyembah berhala dan menghalalkan darahku.”
Yuk kita telusuri sejarah. Abu Hurairah ra. mendapat dua kantong ilmu dari Rasulullah saw. Satu kantong ia sebarkan ke umat. Yang lain ia simpan. “Jika kusebarkan,” katanya, “pasti kalian akan menggorok leherku.”
Lalu ada Al-Hallaj, seorang sufi yang dibunuh karena mengatakan, “Di balik jubah ini adalah Allah.” Perkataan ini lahir dari pengalaman batin, dari dzauq—rasa spiritual yang tidak bisa diterjemahkan dengan kata-kata. Tapi ia tetap bicara. Dan jawaban itu menjadi sebab ia mati di tangan orang-orang yang tidak tahu hakikat.
Tentu, pelajaran dari semua ini jelas, tidak semua pertanyaan orang lain harus dijawab. Tidak semua yang kita tahu perlu diungkapkan kepada orang lain. Apalagi setiap orang memiliki rahasia, dan rahasia sesama muslim tidak boleh diceritakan kepada orang lain.
Hari ini, banyak orang sibuk berdebat tanpa ilmu, sehingga seakan-akan pintar. Merasa paham hanya dengan membaca sekilas. Merasa cukup hanya dengan satu-dua kutipan. Padahal, ilmu butuh kedalaman. Butuh perenungan. Butuh keheningan.
Jadi, janganlah kita terburu-buru ingin terlihat pintar. Kadang, diam atau tidak merespon dengan sikap adalah pilihan yang lebih cerdas. Wallahu a’lam.