lensareportase.com, JAKARTA – Hakikat manusia adalah hidup berdampingan dan bergantung pada alam, termasuk hutan. Dan begitu pun hutan yang juga membutuhkan manusia untuk melindunginya. Hubungan mutualisme antara manusia dengan alam dan seisinya itu mendasari Wiratno menciptakan kebijakan menjalin mitra bersama masyarakat petani untuk menjaga hutan.
Kelompok masyarakat diberi akses untuk mengelola sebagian lahan konservasi dalam jangka waktu lima tahun. Mereka yang mengelola lahan diberi kewajiban untuk menjaga kawasan konservasi dari perambahan baru, perburuan liar, pembakaran lahan, dan berbagai pengrusakan hutan lainnya.
“Apabila hutan memberikan manfaat secara nyata bagi kehidupan dan penghidupan masyarakat setempat, mereka pasti akan menjaganya, sebagaimana hutan diperlakukan sebagai ‘ibu’ dan ‘keluarga’ yang dihormati dan sayangi,” ungkap Wiratno yang menjabat sebagai Direktur jenderal Konservasi Sumber Daya Alam Ekosistem.
Direktorat yang ia pimpin dipercaya mengelola 27,14 hektare wilayah konservasi. Area itu merupakan rumah bagi keanekaragaman hayati, habitat satwa liar, potensi panas bumi, sumber air, healing forest yang luar biasa, hingga penyeimbang siklus.
Tentu, program yang Wiratno jalankan banyak mendapat respons beragam dari masyarakat. Terlebih, wilayah konservasi dikelilingi 6.747 desa penyangga dan masyarakat hukum adat, dengan 16 juta jiwa. Kehidupan mereka bergantung pada kesehatan kawasan konservasi tersebut.
Kawasan konservasi yang hampir seluas Britania Raya itu harus dikelola bersama, sehingga masyarakat merasakan manfaatnya tanpa meninggalkan prinsip kelestarian lingkungan hidup. Sejak 2018 sampai dengan Oktober 2021 tercapai kawasan seluas 176.588 hektare yang tersebar di 57 UPT, 69 kawasan konservasi, di 260 desa, 246 mitra, dan 1.261 kepala keluarga yang terlibat.
“Berbagai respon masyarakat yang positif terhadap program ini, terutama masyarakat merasa dimanusiakan oleh pemerintah,” jelas Wiratno. Masyarakat diperlakukan secara manusiawi dengan cara diajak duduk bersama, komunikasi, dan dialog untuk mencari solusi dari persoalan nyata mereka.
Program ini diperkuat dengan terbitnya Perdirjen No. 6/2018 tentang Kemitraan Konservasi. Prinsip memanusiakan manusia ini merupakan prinsip pertama dari arahan Dirjen KSDAE tentang “Sepuluh Cara (Baru) Mengelola Kawasan Konservasi”.
Sepuluh cara baru itu meliputi masyarakat sebagai subjek, penghormatan kepada hak asasi manusia, kerja sama lintas eselon I, kerja sama lintas kementerian, juga penghormatan nilai budaya dan adat. Selanjutnya adalah kepemimpinan multilevel, pengambilan keputusan berbasis sains, pengelolaan berbasis resort, penghargaan dan pendampingan, serta organisasi pembelajar.
Program yang dijalankan wiratno diapresiasi oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar. Siti Nurbaya melihat pengelolaan kawasan konservasi bukan hal yang mudah. Wiratno, menurut Siti Nurbaya, adalah sosok yang mampu membina seluruh personelnya.
Terlebih, unit kerja yang dipimpin Wiratno memiliki pegawai paling banyak dengan Kawasan yang sangat luas dan rentan. “Konservasi dalam konsep hutan adalah paling rentan, paling harus dijaga, paling harus pas mengelolanya antara kebutuhan alam dan kebutuhan manusia,” ungkap Siti.
Di sisi lain, masyarakat merasakan dampak langsung dari program yang dijalankan Wiratno, Salah satunya adalah Jauneri, seorang dari Kelompok Bina Lestari. Pohon petai dan durian yang ia miliki lebih berbuah. “Mudah-muidahan tanaman ini bisa ada hasil untuk memenuhi kebutuhan keluarga,” pungkasnya. (*)