JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang lanjutan pengujian materiil Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (UU Kejaksaan), Selasa (18/11/2025), di Ruang Sidang Pleno MK. Sidang tersebut beragenda mendengarkan keterangan Presiden/Pemerintah.
Pemerintah diwakili Staf Ahli Bidang Pertimbangan dan Pengembangan Hukum Kejaksaan Agung RI Katarina Endang Sarwestri. Dalam persidangan, Katarina mengatakan bahwa mekanisme sita eksekusi dalam UU Tipikor memiliki dasar hukum yang kuat dan memberikan kepastian hukum.
“Pemerintah berpandangan bahwa mekanisme sita eksekusi telah diatur secara jelas, termasuk sarana bagi pihak yang merasa keberatan, serta kewajiban Kejaksaan untuk memastikan tidak ada hak pihak ketiga yang beritikad baik dilanggar,” ujar Katarina di hadapan majelis hakim.
Ia menegaskan bahwa pengaturan tersebut bukan hanya bentuk kepatuhan Indonesia terhadap konvensi internasional, tetapi juga jaminan perlindungan hak konstitusional warga negara. “Karena itu, Pemerintah memandang tepat apabila Mahkamah menolak permohonan para Pemohon, atau setidak-tidaknya menyatakan permohonan tidak dapat diterima,” imbuhnya.
Pemerintah juga menilai permohonan para Pemohon—yang mewajibkan penetapan Pengadilan Negeri sebelum sita eksekusi uang pengganti—tidak sesuai dengan asas hukum pidana. “Usulan tersebut berpotensi mencampuradukkan ranah perdata dan pidana serta mengaburkan perbedaan antara executoriale titel dalam perdata dan amar pidana yang bersifat self-executing,” jelasnya.
Pidana Uang Pengganti
Selain itu, Pemerintah memaparkan sejarah pengaturan pidana uang pengganti yang telah berlaku sejak tahun 1960. Pasal 18 UU Tipikor memberi kewenangan kepada Jaksa untuk menyita dan melelang harta terpidana apabila uang pengganti tidak dibayarkan dalam waktu satu bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap.
“Pelaksanaan sita eksekusi tidak terbatas pada harta yang terkait langsung dengan tindak pidana, tetapi dapat mencakup seluruh harta terpidana sebagai kewajiban pemenuhan pidana,” terang Katarina.
Pemerintah juga merujuk Perma Nomor 5 Tahun 2014 yang mempertegas kewajiban eksekusi setelah waktu satu bulan terlampaui, serta Pedoman Jaksa Agung Nomor 6 Tahun 2023 yang menegaskan bahwa pelaksanaan sita eksekusi tidak memerlukan penetapan pengadilan tambahan. Pedoman tersebut, menurut Pemerintah, sejalan dengan asas peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan.
Terkait keberatan pihak ketiga, Pemerintah menegaskan bahwa sistem hukum telah menyediakan ruang korektif. Jika terdapat keberatan atas tindakan eksekusi, tersedia mekanisme seperti derden verzet, gugatan perbuatan melawan hukum, dan mekanisme pengawasan peradilan.
“Karena itu, keberatan tersebut tidak relevan diajukan melalui uji konstitusionalitas norma,” kata Katarina.
Pemerintah juga menilai para pemohon keliru memahami frasa “aset lainnya” dalam Pasal 30A UU Kejaksaan. “Frasa tersebut terkait mekanisme pemulihan aset secara terpadu, bukan pemberian kewenangan tanpa batas kepada jaksa,” ujarnya.
Perlindungan Hukum terhadap Pihak Ketiga dalam Perampasan Aset Tipikor
Sebelumnya, dua badan usaha, yakni PT Sinergi Megah Internusa Tbk dan PT Pondok Solo Permai, mengajukan uji materiil sejumlah pasal dalam UU Tipikor dan UU Kejaksaan ke MK. Para Pemohon mengujikan Pasal 18 ayat (2) UU Tipikor serta Pasal 30A dan Pasal 30C huruf g UU Kejaksaan. Mereka menilai, ketentuan tersebut bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menjamin kepastian hukum yang adil bagi setiap warga negara.
Dalam sidang pendahuluan di MK, Kamis (9/10/2025) kuasa hukum para Pemohon, Genesius Anugerah, menyampaikan bahwa pengaturan mengenai pembayaran uang pengganti dalam perkara tindak pidana korupsi tidak memberikan kepastian hukum karena penerapannya berbeda-beda dalam putusan pengadilan.
Sebagai contoh, dalam perkara PT Asuransi Jiwasraya dengan terdakwa Benny Tjokrosaputro, hakim menjatuhkan pidana tambahan uang pengganti sebesar Rp6,07 triliun tanpa memperhitungkan barang bukti yang telah disita. Sementara dalam perkara PT ASABRI (Persero) dengan terdakwa Teddy Tjokrosaputro, hakim memperhitungkan nilai barang bukti yang disita sebesar Rp20,83 miliar sebagai bagian dari pembayaran uang pengganti.
Perbedaan tersebut, menurut para Pemohon, menunjukkan adanya disparitas penerapan hukum yang menimbulkan ketidakpastian bagi para pihak yang terlibat dalam perkara korupsi.
Kritik Wewenang Kejaksaan
Para Pemohon juga mempermasalahkan kewenangan Kejaksaan Agung sebagaimana diatur dalam Pasal 30A dan Pasal 30C huruf g UU Kejaksaan, yang memberikan wewenang untuk melakukan sita eksekusi terhadap aset terpidana. Menurut para pemohon, aturan tersebut tidak mengatur secara tegas batasan dan mekanisme pengawasan pelaksanaan sita eksekusi. Akibatnya, terdapat potensi penyalahgunaan kewenangan dan kerugian bagi pihak ketiga yang tidak terlibat dalam perkara pidana.
Para Pemohon mencontohkan kasus di mana aset milik PT Sinergi Megah Internusa Tbk, yang sebelumnya telah diputuskan untuk dikembalikan melalui putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap, kembali disita dan dilelang oleh jaksa untuk memenuhi pembayaran uang pengganti dalam perkara lain.
Ia menyebutkan praktik yang selama ini terjadi menunjukkan bahwa Jaksa dalam mengupayakan pengembalian kerugian keuangan negara akibat tindak pidana korupsi tidak mempunyai landasan hukum jelas dan komprehensif, pada prosesnya sering kali terdapat multi-interpretasi yang menimbulkan pertanyaan seperti, benda-berida milik tersangka, terdakwa, atau terpidana yang mana saja yang dapat disita oleh Jaksa selaku eksekutor, apakah terhadap keseluruhan harta kekayaannya dapat dilakukan penyitaan atau apakah hanya sebatas harta kekayaan tersangka, terdakwa, terpidana yang berada dalam rentang tempus delicti saja.
Dalam petitumnya, para pemohon meminta MK untuk menyatakan Pasal 18 ayat (2) UU Tipikor serta Pasal 30A dan Pasal 30C huruf g UU Kejaksaan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang pelaksanaan sita eksekusi terhadap aset dilakukan tanpa penetapan atau putusan pengadilan tindak pidana korupsi.
Pemohon berpendapat bahwa keterlibatan pengadilan diperlukan untuk menjamin kepastian hukum, keadilan, dan perlindungan hak pihak ketiga agar tidak dirugikan akibat tindakan eksekusi yang sewenang-wenang.(*)





