JAKARTA, humas mkri – Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menyidangkan permohonan uji materiil Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) sebagaimana telah diubah terakhir melalui Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2025. Sidang perkara Nomor 184/PUU-XXIII/2025 ini digelar pada Rabu (19/11/2025) di Ruang Sidang MK.
Agenda sidang yaitu mendengarkan keterangan DPR RI yang diwakili Abdullah. Anggota Komisi III DPR RI ini menegaskan bahwa pemberian perizinan oleh negara tidak mengalihkan penguasaan negara atas sumber daya mineral dan batu bara kepada pelaku usaha. Menurut DPR, terdapat perbedaan mendasar antara kepemilikan aset tambang setelah diproduksi dan penguasaan negara atas sumber daya alam yang belum diproduksi.
Abdullah menjelaskan bahwa ketentuan peralihan kepemilikan sebagaimana diatur dalam Pasal 92 UU Minerba merupakan konsekuensi logis dari proses ekstraksi yang telah memenuhi kewajiban fiskal kepada negara. Oleh karena itu, ketentuan tersebut tidak dapat dipandang sebagai pengalihan penguasaan negara atas sumber daya alam.
Ia menambahkan, mekanisme iuran produksi atau royalti yang menjadi prasyarat dalam Pasal 92 UU Minerba justru merupakan instrumen efektif bagi negara untuk memastikan penerimaan ekonomi optimal dari sektor pertambangan. DPR menilai bahwa fungsi pengawasan negara tetap berjalan, tidak hanya pada aspek fiskal, tetapi juga dalam regulasi pengelolaan dan pengawasan sebagaimana diatur Pasal 4 ayat (3) UU Minerba.
DPR juga menegaskan bahwa pemberian hak milik dalam Pasal 92 UU Minerba bertujuan memberikan kepastian hukum bagi pelaku usaha yang telah memenuhi seluruh kewajiban finansial kepada negara, termasuk iuran eksplorasi dan iuran produksi. Ketentuan ini bersifat administratif dan ekonomi, sehingga tidak memengaruhi prinsip penguasaan negara atas sumber daya alam. Hak yang diberikan terbatas pada hasil produksi setelah negara menerima bagiannya, bukan atas sumber daya alam yang masih berada di dalam bumi.
Lebih lanjut, DPR menyampaikan bahwa pemerintah tetap memperhatikan aspirasi masyarakat dalam proses perizinan perusahaan. Salah satu syarat dasar untuk memperoleh izin usaha adalah pemenuhan persetujuan lingkungan melalui dokumen AMDAL, UKL-UPL, atau SPPL. Untuk kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup, kewajiban memiliki AMDAL tetap diberlakukan.
Sebagai informasi, permohonan Perkara Nomor 184/PUU-XXIII/2025 ini diajukan enam warga negara mengajukan permohonan uji materiil UU Minerba. Para Pemohon yaitu Wahyu Ilham Pranoto (Pemohon I), Muhammad Faza Aulya’urrahman (Pemohon II), Fauzan Akbar Mulyasyah (Pemohon III), Yudi Amsoni (Pemohon IV), Nasidi (Pemohon V), dan Sharon (Pemohon VI). Mereka adalah mahasiswa dan aktivis, serta warga lokal dan masyarakat hukum adat. Para Pemohon mempersoalkan pergeseran peran negara dari penguasa sumber daya alam menjadi sekadar penerima iuran dari pelaku usaha tambang.
Privatisasi Sumber Daya Alam
Dalam sidang perdana yang digelar di MK pada Senin (20/10/2025) para Pemohon melalui kuasa hukumnya, Aristo Marisi Adiputra Pangaribuan mengatakan bahwa UU Minerba membuka ruang privatisasi sumber daya alam yang berlebihan dan berpotensi bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945, yang menegaskan bahwa kekayaan alam harus digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
“Undang-undang ini menjadikan negara hanya sebagai penerima royalti, bukan pengelola sumber daya. Data yang kami ajukan menunjukkan bahwa porsi pendapatan negara dari royalti tambang tidak pernah melebihi 20 persen dari keuntungan perusahaan,” ungkap Aristo kala itu.
Dalam permohonan tersebut, para pemohon mempersoalkan Pasal 35 dan Pasal 92 UU Minerba. Menurut para pemohon, pasal-pasal tersebut telah mengurangi peran negara dalam menguasai dan mengelola sumber daya alam, serta berpotensi melanggar prinsip keadilan sosial.
Pasal 35 UU Minerba mengatur perizinan dari pemerintah pusat. Sedangkan Pasal 92 UU Minerba berkaitan dengan kepemilikan hasil tambang oleh pihak swasta. Pasal 92 yang memberikan hak kepemilikan kepada pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) atas hasil tambang.
Dalam petitumnya, para pemohon meminta Mahkamah Konstitusi untuk menyatakan pasal-pasal yang diuji bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.





