JAKARTA – Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Mendes PDTT) Abdul Halim Iskandar menegaskan konflik polarisasi masyarakat pascapilkades berpotensi melunturkan nilai-nilai luhur yang menjadi ciri khas desa.
Perpanjangan masa jabatan kades menjadi sembilan tahun untuk mereduksi efek konflik pasca pilkades agar nilai kekeluargaan, kebersamaan dan gotong royong tetap terjaga di desa.
“Padahal asas rekognisi kekeluargaan kebersamaan gotong royong semua adalah nilai nilai luhur desa yang harus betul dipertahankan. Jangan sampai kemudian hanya karena karena persaingan pilkades yang seharusnya bisa dikondisikan melunturkan nilai nilai tersebut,” kata menteri yang akrab disapa Gus Halim ini dalam acara Catatan Demokrasi yang disiarkan secara live di tvOne, Senin (24/1/2023).
Menurut Gus Halim konflik pascapilkades hampir terjadi di seluruh desa. Dibeberapa daerah, konflik tersebut terus berlarut-larut hingga berdampak pembangunan desa tersendat dan beragam aktifitas di desa juga terbengkalai.
Oleh sebab itu, berdasar fakta lapangan serta kajian dengan para pakar dari akademisi, Gus Halim menyimpulkan bahwa efek negatif konflik pascapilkades akan lebih mudah diredam jika masa jabatan kades ditambah.
“Solusi nya bagaimana supaya proses pembangunan bisa berjalan dengan lancar bagus kondusif tapi efek pilkades bisa terselesaikan dengan baik,” kata Gus Halim
Senada dengan Gus Halim, pengamat politik Boni Hargens mengungkapkan pelaksanaan kekuasaan di desa itu berbeda dengan tingkat kabupaten ataupun provinsi. Menurutnya, karena desa mempunyai skup yang kecil, maka masyarakat saling mengenal. Sehingga perbedaan pilihan dalam pilkades dapat melahirkan kebencian yang sifatnya personal.
“Dan kalau sudah personal maka tidak akan mudah membangun konsesnsus. Kalau konsensus tidak ada bagaimana kebijakan pembangunan di jalankan,”ujar Boni.
Turut hadir menjadi narasumber dalam acara diskusi ini antara lain politisi PDI Perjuangan, Aria Bima; politisi Partai Gelora, Fahri Hamzah; pengamat politik, Boni Hargens; dan pakar hukum Tata Negara, Feri Amsari. (*)