Perhutanan Sosial bukan hanya sekadar solusi untuk persoalan tenurial, tetapi juga diharapkan menjadi katalisator untuk pengembangan ekonomi masyarakat. Program ini diantisipasi dapat menyerap tenaga kerja, meningkatkan pendapatan melalui usaha hasil hutan, serta menciptakan sentra ekonomi lokal dan daerah. Saat ini, sudah terbentuk 10.249 Kelompok Usaha Perhutanan Sosial, yang mencakup berbagai kelas seperti Platinum, Gold, dan Silver, dengan total transaksi ekonomi mencapai Rp. 1,08 Triliun.
Keberhasilan Perhutanan Sosial juga tercermin dalam berbagai model pengelolaan, termasuk pola agroforestry, silvofishery, dan silvopastura. Selain memberdayakan masyarakat melalui sektor hasil hutan, program ini juga berhasil menangani 570 kasus tenurial yang terjadi, menunjukkan perannya sebagai solusi konflik lahan di tingkat tapak.
”Program ini juga di topang dengan pemerataan ekonomi, ada namanya pendampingan dengan tata kelola kelembagaan, tata kelola hutan dan tata kelola ekonomi itu harapannya masyarakat yang miskin bisa dientaskan, masyarakat mampu mengelola kawasan hutan dengan baik, pemerintah menyediakan akses permodalan dalam bentuk KUR maupun skema lainnya termasuk juga untuk oftakkernya sehingga desa menjadi desa yang bertumbuh gini ratio antara desa dan kota menjadi kecil, tidak ada urbanisasi tetapi ruralisasi itu yang akan terjadi kedepan,” jelasnya.
Selaras dengan itu, Sekretaris Direktorat Jenderal PSKL, Mahfudz menyebut dalam aksi nyata invonasi kebijakan dalam percepatan pengelolaan Perhutanan Sosial, Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 28 Tahun 2023 tanggal 30 Mei 2023 Tentang Peraturan Presiden Tentang Perencanaan Terpadu Percepatan Pengelolaan Perhutanan Sosial.