Budayawan Mohamad Sobary Menyampaikan Orasi Pada Acara “Panjang Umur Perjuangan” Oleh FSP-TIM

lensareportase.com, Forum Seniman Peduli Taman Ismail Marzuki mengadakan acara “Panjang Umur Perjuangan – Menjaga Marwah Taman Ismail Marzuki”. Acara dengan semangat ‘poetic resistance’ tersebut menampilkan para pegiat seni musik, teater, tari, sastra, rupa, dan film. Ratusan seniman tampil bersemangat menyuarakan permasalahan faktual berkenaan dengan kebijakan Pemerintah dalam mengurus kesenian dan kebudayaan.

Dr. Mohamad Sobary, budayawan yang biasa dipanggil Kang Sobary, menyampaikan orasi pada malam kedua. “Kekuasaan yang ingin melawan ruh, mungkin bisa, untuk sementara. Tapi ruh dunia seni ini, gambaran dari orang yang berjuang, tidak ada kapan mulainya. Tidak ada gambaran kapan akhirnya. Kalau kekuasaan administratif bisa mengatur ini, bisa menguasai ini, bagi kita, ambillah. Ambillah. Kita tidak akan menangisi rumah. Tawaran dunia ini hanya dua, Bung, Saudara-saudara. Dunia ini hanya menawarkan dua. Satu, Anda pilih wadah, apa pilih isi! Bagi mereka yang memilih wadah, gerogotilah tempat ini. Makanlah semuanya! Kami memilih isi. Karena jiwa kami adalah gambaran dari ruh. Kita ruh, tidak pernah bisa dikalahkan. Jadi perjuangan setiap hari, setiap saat, kita berjuang, kapan pun!” tegas Kang Sobary, dalam orasi budayanya yang mengharukan.

Acara itu sendiri digelar pada hari Jumat dan Sabtu, 23 – 24 September 2022, mulai pukul 19.30.WIB sampai hampir tengah malam. “Tidak hanya menyangkut revitalisasi TIM, tapi juga soal nasib ruang-ruang ekspresi kesenian di berbagai daerah,” terang Mogan Pasaribu, dari Forum Seniman Peduli TIM, di Jakarta, Jum’at (24/09/2022).

Dibuka oleh Iwan Henry Wardhana, Kadis Kebudayaan DKI Jakarta di Posko #saveTIM, dengan sambutan yang bersemangat, acara dua malam itu diisi oleh kelompok musik Lokal Ambience, Arafat Ensamble, Pandai Api, Pangjek, Jali Gimbs, Republik 21, serta kelompok seni tradisi Sanggar Saraswati, Bale Seni Intan Bulaeng, dan Komunitas Ronggeng Deli.Tampil juga Cilay Dance Theater, Agadebi, monolog oleh Joind Bayuwinanda, teater Agus Nur Amal, Willy Fwi, Buyung Surya, Cok Ryan Hutagaol, Exan Zen, Sihar Ramses Simatupang, Moctavianus Maheska, Sari Chikata, Endin Sas, Nuyang Jaimee, Qthink Cakrawala. Ipoer Wangsa, Titieq Chemonk, Eko Prakoso, dan sejumlah seniman lainnya.

Baca Juga :  Keynote Speech Jaksa Agung ST Burhanuddin pada Seminar Nasional Dies Natalis Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman ke-43

“Tak ketinggalan para perupa, Edy Bonetsky, Dadang Ismawan, dan kawan-kawan. Sepanjang acara berlangsung digelar juga pameran foto dan pemutaran film,” papar Mogan.

Menurut Mogan, acara yang digelar di pelataran luas Teater Besar TIM tersebut, tidak berkaitan dengan rencana yang disebut-sebut sebagai ‘’grand-launching” wajah baru TIM.
“Istilah itu kami tolak. Karena tidak mencerminkan sejarah panjang TIM. Tidak juga menunjukkan esensi dan fungsi TIM yang sebenarnya, sebagai kawasan kesenian,” ungkap pendiri kelompok musik Horja Bius, yang sebelum pandemi berkonser keliling di Belanda dan Jerman.

Dengan sejumlah persoalan ganjil dan membuat resah banyak pihak itu, maka menurut Mogan, FSP-TIM tidak dapat memahami alasan diselenggarakannya grand-launching wajah baru TIM itu.
“FSP-TIM menolak peresmian yang terkesan terburu-buru itu. Revitalisasi TIM sendiri ‘kan masih belum tuntas. Hasil revitalisasi fisik itu banyak yang tak benar, dan harus diperbaiki,” tegas Mogan.

Mogan menjelaskan, hajatan Panjang Umur Perjuangan – Menjaga Marwah Taman Ismail Marzuki, oleh FSP-TIM dimaksudkan untuk menyampaikan kepada publik hal-hal yang belum beres itu. Perspektif yang terang dari sudut pandang obyektif kalangan seniman tentang apa yang senyatanya terjadi dan apa yang seharusnya, penting disampaikan. Agar seniman dan masyarakat tidak seperti membeli kucing dalam karung.”

“Hampir tiga tahun gerakan #saveTIM, yang didukung oleh banyak tokoh, kalangan seniman dan budayawan, seperti Pak Ajip Rosidi, Radhar Panca Dahana, Butet Kartaredjasa, Mohamad Sobary, Afrizal Malna, Putu Wijaya, Maria Darmaningsih, Ratna Sarumpaet, Nano Riantiarno, Elly Lutan, Syahnagra, dan lainnya, akan terus eksis, mengawal kerja revitalisasi TIM.” paparnya.
“Perjuangan kami tidak lain adalah usaha pengawalan serius terhadap kebijakan revitalisasi TIM yang blunder itu. Kami pun sudah menawarkan berbagai kemungkinan baik untuk kepentingan seniman. Tapi tidak digubris!” ungkap Mogan Pasaribu, yang pada hajatan Panjang Umur Perjuangan bertindak sebagai Pelaksana Acara.
Pengawalan tersebut, kata dia, dengan maksud mengeliminir berulangnya banyak kejadian buruk dalam pembangunan dan pengelolaan TIM, yang pernah terjadi di masa lalu. Pengalaman yang traumatis, yang mengendap dalam ingatan banyak seniman.

Baca Juga :  Untuk Pertama Kalinya dari Serambi Mekkah, Pelaksanaan Ekspose Dihadiri Langsung oleh Jaksa Agung RI selaku “Penuntut Umum Tertinggi”

Lebih lanjut Mogan menjelaskan, “Bermula dari dibongkarnya Teater Tertutup, Teater Arena, Teater Terbuka, Wisma Seni, dan Sanggar Tari Huriah Adam. Bangunan peninggalan Gubernur Ali Sadikin, yang konsepnya bersumber dari para seniman, seperti Ajip Rosidi, Ilen Surianegara, Oe. Effendi, Arif Budiman, Ramadhan K.H., dan kawan-kawan. Ruang-ruang ekspresi seni itu diratakan dengan tanah, hanya karena motivasi politik menghapus jejak Ali Sadikin. Lalu katanya, akan diganti dengan bangunan kesenian bertaraf internasional!”

Menurut Mogan, gerakan yang dilancarkan FSP-TIM adalah diakui para pembuat kebijakan, seperti DPRD DKI Jakarta, Komisi X DPR RI, dan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan sendiri. Kami sebenarnya ditugaskan untuk mengawal!”

Hajatan Panjang Umur Perjuangan ini, terang Mogan lagi, adalah momen introspeksi, pengingat, dan cara penyampaian sikap kritis para seniman. “TIM itu warisan Ali Sadikin, Ajip Rosidi, dan kawan-kawan. Ia amanah yang dipinjam dari anak cucu kita. Karena itu, wajib dijaga dengan sungguh-sungguh. Tidak boleh ada komersialisasi disana. Kewajiban pemerintah terhadap TIM adalah obligasi kultural dan konstitusional. Kewajiban yang tak boleh diselewengkan, atau ditawar-tawar. Sudah jelas itu disebutkan dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan,” ujarnya.

“Kita semua ‘kan tahu, TIM adalah rumah bersama para seniman. Bukan hanya yang bergiat di Jakarta, tapi juga di berbagai daerah di Indonesia. Sudah menjadi lambang eksistensi seniman. Untuk penegasan, berdasarkan persoalan serius yang kami temukan berkaitan dengan revitalisasi TIM itu, FSP-TIM menyampaikan seruan melalui 5 butir Manifesto Cikini 73. Antara lain, agar ruang-ruang ekspresi kesenian seperti TIM ini dibebaskan dari komersialisasi dan transaksi kapitalis!” tegas Mogan.(*)

Related posts