Sementara itu, Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams menegaskan jika Mahkamah mengabulkan Permohonan ini, baik seluruhnya maupun sebagian, maka yang sejatinya terjadi adalah Mahkamah melakukan praktik yang lazim dikenal sebagai ”legislating or governing from the bench” tanpa didukung dengan alasan-alasan konstitusional yang cukup (sufficient reason) dalam batas penalaran yang wajar. Hal ini menjadikan Mahkamah masuk sangat jauh dan begitu dalam kepada salah satu dimensi dan area yang paling fundamental bagi terselenggaranya kekuasaan legislatif yang baik dan konstitusional, yakni fungsi representasi parlemen sebagai salah satu refleksi serta implementasi utama dari prinsip “kedaulatan rakyat” sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945.
Oleh karena itu, jelas Wahiduddin, Mahkamah dalam rangka memeriksa, mengadili, dan memutus perkara ini seharusnya (sekali lagi) meyakinkan kepada publik dan khususnya Pemohon bahwa adakalanya kemerdekaan kekuasaan kehakiman itu diselenggarakan dalam bentuk “kemerdekaan untuk tidak melakukan sesuatu” (The Dont’s; judicial restraint) yang secara manusiawi memang relatif lebih sulit untuk dilakukan, sebab manusia memang secara alamiah cenderung lebih tertarik untuk melakukan sesuatu ketimbang menahan diri untuk tidak melakukan sesuatu. “Menimbang bahwa berdasarkan beberapa uraian argumentasi tersebut di atas, saya berpendapat Mahkamah seharusnya menolak Permohonan Pemohon,” ujarnya.
Kemudian pendapat berbeda juga diungkapkan oleh Hakim Konstitusi Suhartoyo yang berpendapat terhadap Pemohon yang memohon agar norma Pasal 169 huruf q UU Pemilu dimaknai sebagaimana selengkapnya dalam petitum permohonannya yang bukan untuk kepentingan dirinya sendiri, adalah juga tidak relevan untuk diberikan kedudukan hukum (legal standing) untuk bertindak sebagai pemohon dalam permohonan a quo. Sehingga pertimbangan hukum pendapat berbeda (dissenting opinion) dalam perkara Nomor 29/PUU-XXI/2023 Perkara Nomor 51/PUU-XXI/2023, mutatis mutandis sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari pertimbangan hukum dalam pendapat berbedanya dalam putusan permohonan a quo.
Alasan Berbeda
Sementara dua alasan berbeda diungkapkan oleh Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dan Daniel Yusmic P. Foekh. Keduanya berpendapat permohonan tersebut dikabulkan dengan syarat berpengalaman sebagai gubernur yang persyaratannya ditentukan oleh pembentuk undang-undang. Enny menjelaskan jika dikaitkan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29/PUU-XXI/2023, Nomor 51/PUU-XXI/2023 dan Nomor 55/PUU-XXI/2023, di mana Mahkamah telah memutus menolak permohonan Pemohon (para Pemohon), sekalipun khususnya dalam perkara Nomor 51/PUU-XXI/2023 dan Nomor 55/PUU-XXI/2023 yang didalilkan adalah berpengalaman sebagai penyelenggara negara. Dalam cakupan penyelenggara negara terdapat kepala daerah. Dalam pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 51/PUU-XXI/2023 yang mutatis mutandis berlaku untuk pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi 55/PUU-XXI/2023, permohonan para Pemohon pada pokoknya tidak secara jelas menguraikan pada batasan mana penyelenggara negara dimaksud dikatakan berpengalaman yang setara dengan jabatan Presiden atau Wakil Presiden. Sementara itu, alasan berbedanya dalam permohonan Pemohon a quo dikarenakan dalil Pemohon telah secara spesifik menguraikan kaitan dengan berpengalaman sebagai kepala daerah baik tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, namun sesuai dengan tingkatan dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan maka dalam konteks ini gubernur sebagai kepala daerah otonom dan juga wakil pemerintah pusat yang relevan untuk mendekat pada level penyelenggara urusan pemerintahan yang lebih tinggi.
“Sehingga alasan saya tersebut tidak menegasikan pandangan saya sebagai bagian yang memutus perkara Nomor 51/PUU-XXI/2023 dan Nomor 55/PUU-XXI/2023. Dengan demikian, saya memiliki alasan berbeda dalam mengabulkan sebagian dari petitum Pemohon yakni ‘berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau berpengalaman sebagai gubernur yang persyaratannya ditentukan oleh pembentuk undang-undang’,” sebut Enny.