Selain itu, Saldi menekankan pembentuk undang-undang secara eksplisit menyampaikan dan memiliki keinginan yang serupa dengan para Pemohon, sehingga perubahan ataupun penambahan terhadap persyaratan bagi calon presiden dan wakil presiden tersebut sudah selayaknya dilakukan melalui mekanisme legislative review dengan cara merevisi Undang-Undang yang dimohonkan oleh para Pemohon, bukan justru melempar “bola panas” ini kepada Mahkamah. Sayangnya, hal yang sederhana dan sudah terlihat dengan jelas sifat opened legal policy-nya ini, justru diambil alih dan dijadikan “beban politik” Mahkamah untuk memutusnya.
“Jika pendekatan dalam memutus perkara sejenis seperti ini terus dilakukan, saya sangat, sangat, sangat cemas dan khawatir Mahkamah justru sedang menjebak dirinya sendiri dalam pusaran politik dalam memutus berbagai political questions yang pada akhirnya akan meruntuhkan kepercayaan dan legitimasi publik terhadap Mahkamah. Quo vadis Mahkamah Konstitusi?” tandasnya.
Tiga Keganjilan
Sementara itu, Hakim Konstitusi Arief Hidayat membongkar tiga keganjilan dari lima perkara yang menguji aturan batas usia capres dan cawapres, yakni Perkara Nomor 29/PUU-XXI/2023, Perkara Nomor 51/PUUXXI/2023, Perkara Nomor 55/PUU-XXI/2023, Nomor 90/PUU-XXI/2023, dan Perkara Nomor 91/PUU-XXI/2023. Tiga keganjilan tersebut, yakni penjadwalan sidang yang terkesan lama dan tertunda, pembahasan dalam RPH, serta Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 dan Perkara Nomor 91/PUU-XXI/2023 ditarik tetapi tetap dilanjutkan. Proses persidangan Pasca Persidangan Perbaikan Permohonan menuju Pemeriksaan Persidangan dengan agenda Mendengarkan Keterangan DPR dan Presiden terkesan terlalu lama, bahkan memakan waktu hingga 2 (dua) bulan, yakni pada Perkara Nomor 29/PUU-XXI/2023 dan 1 (satu) bulan pada Perkara Nomor 51/PUU-XXI/2023 dan Perkara Nomor 55/PUU-XXI/2023. Meskipun hal ini tidak melanggar hukum acara baik yang diatur di dalam undang-undang tentang Mahkamah Konstitusi maupun Peraturan Mahkamah Konstitusi. Namun penundaan perkara a quo berpotensi menunda keadilan dan pada akhirnya akan meniadakan keadilan itu sendiri (justice delayed, justice denied).
Terkait RPH, Arief menyebut Ketua MK Anwar Usman tidak hadir dalam RPH untuk tiga perkara, yakni Perkara Nomor 29/PUU-XXI/2023, Perkara Nomor 51/PUUXXI/2023, dan Perkara Nomor 55/PUU-XXI/2023. Alasan kala itu untuk menghindari konflik kepentingan karena kerabat Ketua MK berpotensi diusulkan dalam kontestasi Pemilu Presiden 2024 sebagai Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden oleh salah satu partai politik, sehingga Ketua memilih untuk tidak ikut dalam membahas dan memutus ketiga perkara a quo. Namun demikian, pada Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 dan Perkara Nomor 91/PUU-XXI/2023 dengan isu konstitusionalitas yang sama, Ketua malahan ikut membahas dan memutus kedua perkara a quo dan khusus untuk Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 diputus dengan amar “dikabulkan sebagian”.
“Sungguh tindakan yang menurut saya di luar nalar yang bisa diterima oleh penalaran yang wajar. Tindakan Ketua ini kemudian saya pertanyakan dan persoalkan di dalam RPH. Setelah dilakukan konfirmasi pada sidang RPH hari Kamis, tanggal 21 September 2023, Ketua menyampaikan bahwa ketidakhadirannya pada pembahasan dan forum pengambilan keputusan pada Perkara Nomor 29/PUU-XXI/2023, Perkara Nomor 51/PUU-XXI/2023 dan Perkara Nomor 55/PUU-XXI/2023 lebih dikarenakan alasan kesehatan dan bukan untuk menghindari konflik kepentingan (conflict of interest) sebagaimana disampaikan Wakil Ketua pada RPH terdahulu,” urai Arief.