Batas Usia Capres-Cawapres 40 Tahun Atau Menduduki Jabatan yang Dipilih dari Pemilu/Pilkada

Guntur melanjutkan, berkenaan dengan petitum Pemohon yang pada pokoknya meminta Mahkamah untuk memberikan pemaknaan norma Pasal 169 huruf q UU Pemilu atau berpengalaman sebagai kepala daerah baik di tingkat Provinsi maupun Kabupaten Kota. Terhadap hal tersebut, Mahkamah menilai meskipun serangkaian pertimbangan hukum Mahkamah di atas berkesesuaian dan dapat menjawab isu yang dikemukakan Pemohon, namun pemaknaan yang tepat untuk mewujudkan pokok pertimbangan hukum tersebut tidak sepenuhnya dapat dilakukan dengan mengikuti rumusan pemaknaan yang dikehendaki oleh Pemohon. Oleh karena itu, dengan mempertimbangkan petitum Pemohon pada petitum pilihan pengganti yaitu “ex aequo et bono” yang tertera dalam petitum permohonan Pemohon, serta demi memenuhi kepastian hukum yang adil, maka menurut Mahkamah pemaknaan yang tepat untuk rumusan norma a quo adalah berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pemahsedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah.

Dengan demikian, sambung Guntur, karena jabatan kepala daerah baik tingkat provinsi maupun tingkat kabupaten kota saat ini paradigmanya adalah jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum, sehingga selengkapnya norma a quo berbunyi “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan daerah”. Lebih lanjut, ketentuan Pasal 169 huruf q UU Pemilu sebagaimana dimaksud dalam putusan a quo berlaku mulai pada Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2024 dan seterusnya. Hal ini penting ditegaskan Mahkamah agar tidak timbul keraguan mengenai penerapan Pasal a quo dalam menentukan syarat keterpenuhan usia minimal calon Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana rumusan dalam amar putusan a quo.

Oleh karena itu, jelas Guntur, terhadap pemaknaan norma Pasal 169 huruf q UU Pemilu, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan bahwa dalam hal terdapat dua putusan yang menyangkut isu konstitusionalitas yang sama namun karena petitum yang tidak sama dalam beberapa putusan sebelumnya dengan perkara a quo sehingga berdampak pada amar putusan yang tidak sama, maka yang berlaku adalah putusan yang terbaru. Artinya, putusan a quo serta merta mengesampingkan putusan sebelumnya. Ihwal pemahaman ini sejalan dengan asas lex posterior derogat legi priori. Dengan demikian, tafsir konstitusional dalam putusan a quo mengesampingkan putusan yang dibacakan sebelumnya dalam isu konstitusional yang sama, dan putusan a quo selanjutnya menjadi landasan konstitusional baru terhadap norma Pasal 169 huruf q UU Pemilu yang berlaku sejak putusan ini selesai diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum.

Baca Juga :  Menteri Desa PDT Bahas Program di Desa Tepat Sasaran Bersama Mendagri

“Berdasarkan seluruh pertimbangan hukum tersebut diatas, ternyata norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 telah jelas menimbulkan ketidakadilan yang intolerable. Oleh karena itu, menurut Mahkamah, norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 haruslah dinyatakan inkonstitusional bersyarat sepanjang tidak memenuhi pemaknaan yang akan dituangkan dalam amar putusan a quo. Dengan demikian, pemaknaan Mahkamah tersebut tidak sepenuhnya mengabulkan permohonan Pemohon secara keseluruhan, sehingga permohonan Pemohon adalah beralasan menurut hukum untuk sebagian,” tandas Guntur.

Seharusnya Ditolak

Dalam Putusan tersebut, tiga hakim konstitusi menyatakan pendapat berbeda (dissenting opinion) dan dua hakim konstitusi menyatakan alasan berbeda (concurring opinion). Tiga hakim konstitusi yang memiliki pendapat berbeda, yakni Wakil Ketua MK Saldi Isra, Hakim Konstitusi Arief Hidayat, dan Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams. Ketiganya menilai seharusnya Mahkamah menolak permohoan Pemohon.

Related posts