lensareportase.com, Dalam rangka menggali peluang dan tantangan pengembangan B30 dalam pengendalian perubahan iklim, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan kembali menyelenggarakan Diskusi Pojok Iklim pada Hari Rabu 23 Juni 2021 dengan mengangkat tema “B30: Langkah Awal Reformasi Energi”. B30 merupakan bioenergi yang sangat besar kontribusinya untuk pencapaian target NDC di tahun 2030.
Ketua Dewan Pertimbangan Pengendalian Perubahan Iklim, Sarwono Kusumaatmadja, dalam sambutan pengantarnya menyampaikan bahwa saat ini pemerintah sedang berupaya melakukan reformasi energi dengan beralih ke arah energi baru terbarukan dan meninggalkan energi fosil. B30 ini merupakan langkah awal dari pengembangan bioenergi yang sangat banyak alternatif dan pilihannya.
“Oleh karena itu ada dua semboyan untuk melangkah menuju reformasi energi. Pertama “think globally act locally”, dan kedua “think big and start small”. Kalau kita petakan peralihan bioenergi dari energi fosil, masalahnya sangat kompleks, sehingga berbagai variabel harus didalami dan diperhitungkan. Mengingat biodiversitas kita sangat kaya, kedepan kita harus mengembangkan sumber biofuel dari sumber nabati yang beragam,” kata Sarwono.
Selanjutnya, Koordinator Keteknikan Bioenergi, Direktorat Bioenergi, Ditjen EBTKE, Kementerian ESDM, Efendi Manurung mengatakan bahwa dari target bauran energi dari EBT sebesar 23% pada tahun 2025, saat ini telah tercapai sebesar 11,2%. Program mandatori B30 merupakan salah satu upaya dari sektor energi untuk mencapai target pengurangan emisi sebagaimana dituangkan dalam Paris Agreement.
Upaya persiapan B30 diantaranya melakukan revisi SNI biodiesel, uji jalan atau fungsi B30, memastikan kesiapan produsen biodiesel, metode sistem handling dan penyiapan yang tepat, dan kesiapan infrastruktur, serta melakukan sosialisasi untuk memastikan penerimaan publik.
Pengembangan Bahan Bakar Nabati (BBN) harus mengikuti prinsip keberlanjutan, memaksimalkan keterlibatan petani, standar mutu yang semakin baik, proses yang makin efisien, harga biodiesel yang stabil dan terkendali.
“Biofuel ke depan tidak terbatas untuk biodiesel, tidak terbatas pada pengusahaan skala besar, tapi didorong yang berbasis kerakyatan, spesifikasi menyesuaikan dengan kebutuhan konsumen, pemanfaatan by product biodiesel, dan pemanfaatan hasil sawit non-CPO,” ujarnya.
Kemudian, Kepala Balai Teknologi Termodinamika Motor dan Propulsi, BPPT, Heri Setiapraja menyampaikan bahwa penerapan B30 di Indonesia telah melalui kajian yang melibatkan seluruh stakeholder terkait. Rekomendasi kajian telah diimplementasikan melalui penetapan standar baru properti biodiesel, penanganan dan penyimpanannya.
Menurut Heri, kinerja kendaraan secara umum tidak berubah signifikan dari bahan bakar B20 menjadi B30. “Penerapan energi B30 untuk teknologi Euro4 memerlukan kajian khusus yang lebih detail, terutama terkait kajian system exhaust after treatment,” jelas Heri.
Sementara itu, Kepala Sub Direktorat Pengendalian Pencemaran Udara Sumber Bergerak, Direktorat Jenderal PPKL, KLHK, Ratna Kartikasari menjelaskan bahwa penggunaan bioenergi khususnya B30 dapat meningkatkan jumlah pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) jika dibandingkan B20. Efek lain dari penerapan B30 adalah peningkatan nilai tambah CPO menjadi biodiesel serta penghematan devisa.
Pengembangan biodiesel diharapkan dapat pemenuhi standar emisi sesuai P.20 tahun 2017 tentang baku mutu emisi gas buang kendaraan bermotor Tipe Baru Kategori M, Kategori N dan Kategori O (Setara Euro 4) atau minimal Euro 2 (Pertamina Dex dan Dexlite).
Disamping itu, Profesor Riset Balai Besar Litbang Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Budi Leksono menyatakan bahwa pada saat akan mengembangkan nyamplung dan malapari pada daerah tertentu tantangannya adalah perlu mengintegrasikan IPTEK hasil penelitian nyamplung dan malapari (hulu-hilir) yang menunjang kelestarian sumber bahan baku dan kemandirian pengolahan pada industri agar layak dimplementasikan pada skala industri.
“Diperlukan strategi pemetaan wilayah yang tepat untuk pengembangan tanaman dan industri biodiesel berbasis tanaman nyamplung dan malapari.
Melakukan inovasi dalam efisiensi pengolahan biodiesel, rekayasa sosial pemanfaatan limbah untuk meningkatkan nilai tambah dan ramah lingkungan, dan membuka pasar untuk produk-produk pengolahan biji nyamplung dan bioenergi dan pemanfaatan lainnya,” terang Budi.
Di akhir diskusi, Ketua Dewan Pertimbangan Pengendalian Perubahan Iklim, Sarwono Kusumaatmadja menyampaikan bahwa B30 merupakan langkah awal reformasi energi karena kita menghadapi banyak pilihan dalam rangka membuat kebijakan energi meninggalkan energi fosil. Dengan ketekunan dan komitmen para pihak, reformasi energi akan terjadi dan Indonesia bisa menjadi negara yang menyumbangkan suatu yang substansif untuk adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.
Diskusi yang dipandu oleh Direktur Mitigasi Perubahan Iklim, Ditjen PPI, Emma Rachmawaty ini dihadiri oleh hingga 220 peserta yang terdiri dari Kementerian/Lembaga, organisasi non-pemerintah, perguruan tinggi, sektor privat dan individu.(Mar)