lensareportase.com, Jakarta (24/5) – Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga menegaskan dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan di berbagai macam bidang, pemerintah Indonesia senantiasa tidak boleh mengesampingkan pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak. Pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak perlu menjadi perhatian bersama karena hingga saat ini perempuan dan anak masih menjadi kelompok rentan yang kerap mengalami diskriminasi, subordinasi, marginalisasi, pelabelan, hingga kekerasan struktural.
“Perlu menjadi perhatian besar kita bersama bahwa perempuan dan anak mengisi 64,6% dari seluruh populasi Indonesia. Artinya, untuk mencapai Indonesia yang unggul dan sejahtera, melalui pembangunan berkelanjutan dalam berbagai bidang, perempuan dan anak tidak boleh ditinggalkan,” ujar Menteri PPPA dalam sambutannya pada Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) Kejaksaan Republik Indonesia Tahun 2022 secara virtual, Senin (23/5).
Menteri PPPA mengungkapkan isu-isu yang melingkupi perempuan dan anak bersifat sangat kompleks sehingga penyelesaiannya membutuhkan intervensi baik dari seluruh sektor pembangunan, maupun dari berbagai macam sisi dan pendekatan. “Intervensi harus dilakukan dari segi kebijakan dan penegakan hukum, ekonomi, sosial, politik, dan lain sebagainya. Untuk itu, perlu adanya kesadaran dan keterlibatan semua pihak dalam mencari solusi-solusi baru, mengawal implementasi dari program-program yang sudah berjalan, serta mengkonstruksi ulang nilai-nilai yang ada di masyarakat terkait pentingnya pemenuhan hak-hak perempuan dan anak. Tentunya dukungan dari Kejaksaan RI menjadi sangat besar dibutuhkan,” tutur Menteri PPPA.
Dalam kesempatan tersebut, Menteri PPPA juga menyampaikan apresiasi setinggi-tingginya kepada Jaksa Agung Republik Indonesia, Burhanuddin dan Kepala Kejasaan Tinggi Jawa Barat, Asep N. Mulyana beserta jajarannya yang telah turun secara langsung, memberikan komitmen penuh yang luar biasa dalam mengawal kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak serta berhasil melakukan upaya hukum banding untuk menghukum berat pelaku HW yang melakukan kekerasan seksual persetubuhan kepada 13 (tiga belas) Santriwati Anak dan membebankan restitusi ganti kerugian korban kepada pelaku, bukan kepada pemerintah. Keberhasilan menjatuhkan hukuman seberat-beratnya dalam kasus kekerasan seksual HW merupakan salah satu contoh praktik baik sinergi dan kolaborasi dengan Kejaksaan RI dengan memperhatikan kepentingan terbaik bagi korban, khususnya perempuan dan anak.
“Selain itu, patut menjadi kegembiraan kita bersama, setelah penantian yang panjang, pada tanggal 9 Mei 2022, Presiden Joko Widodo telah mengundangkan UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). UU ini merupakan angin segar bagi perempuan dan anak Indonesia yang paling rentan menjadi korban kekerasan seksual karena merupakan UU lex specialist yang dapat memberikan perlindungan komprehensif terhadap korban kekerasan seksual dari hulu hingga ke hilir dengan mencegah segala bentuk kekerasan seksual; menangani, melindungi, dan memulihkan korban; melaksanakan penegakan hukum dan merehabilitasi pelaku; mewujudkan lingkungan tanpa kekerasan seksual; dan menjamin ketidakberulangan kekerasan seksual,” jelas Menteri PPPA.
Menteri PPPA menjelaskan UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang TPKS masih memerlukan peraturan pelaksanaan lainnya melalui Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden dalam implementasinya. “PR besar lainnya adalah melakukan sosialisasi masif serta peningkatan kapasitas bagi para aparat penegak hukum, sehingga UU ini dapat segera dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, tidak hanya di kota-kota besar tetapi hingga seluruh pelosok Indonesia. Untuk itu, kami memohon dukungan, sinergi dan kolaborasi dari Kejaksaan untuk turut mengawal pelaksanaan UU ini maupun pembentukan peraturan-peraturan pelaksananya,” ujar Menteri PPPA.
Sebagai Kementerian yang membidangi isu-isu terkait upaya-upaya untuk mewujudkan pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak dan mempunyai tugas terkait penyelenggaraan urusan pemerintahan di bidang pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak, Kemeterian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) diberikan mandat 5 (lima) isu prioritas arahan presiden oleh Presiden Joko Widodo yang perlu diselesaikan salah satunya adalah “Penurunan kekerasan terhadap perempuan dan anak”.
Dalam upaya menuntaskan isu prioritas tersebut, KemenPPPA telah menerbitkan Peraturan Menteri PPPA (Permen PPPA) Nomor 4 Tahun 2018 tentang Pedoman Pembentukan Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) dengan 6 (enam) fungsi layanan yang dapat diberikan, berupa: pengaduan masyarakat, penjangkauan korban, pengelolaan kasus, penampungan sementara, mediasi, dan pendampingan korban di tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota. Selain itu, KemenPPPA juga meluncurkan layanan pelaporan kekerasan terhadap perempuan dan anak, yaitu Call Center Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) 129 (021-129) atau WhatsApp 0811 129 129. Melalui layanan SAPA 129, masyarakat dapat melaporkan kekerasan yang dialami atau diketahui. Dengan adanya akses layanan tersebut, masyarakat diharapkan mampu menjadi pelopor dan pelapor.
BIRO HUKUM DAN HUMAS
KEMENTERIAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN
DAN PERLINDUNGAN ANAK